Enam undang-undang (UU) tentang perpajakan masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) periode 2015-2016. Tiga di antaranya, rancangan undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), Pengampunan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak ditargetkan tuntas dibahas di tahun ini. Banyaknya UU baru ini sejalan dengan niat pemerintah mereformasi pajak.
Reformasi perpajakan sejatinya bukan agenda baru di negeri ini. Agenda itu sudah terdengar paling tidak pada dekade 80-an, dengan pemberlakuan self-assessment dalam perhitungan pajak. Namun bisa dibilang, agenda reformasi pajak yang diusung pemerintah Joko Widodo (Jokowi) terbilang yang paling massif. Banyaknya perubahan tercermin dari banyaknya RUU tentang pajak yang akan dibahas hingga 2019.
Berbagai wacana perubahan yang termuat dalam sejumlah RUU itu terdengar selama setahun terakhir. Sebut saja rencana perubahan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menjadi badan otonom. Atau, program pengampunan pajak yang controversial. Lalu, belum lama ini muncul kabar tentang perubahan konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Untuk mengetahui seberapa relevan berbagai rencana tentang reformasi pajak, Wartawan KONTAN Thomas Hadiwinata dan Marshall Saultan mewawancara Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Berikut nukilan wawancara dengan pria juga pernah menjadi anggota Tim Optimalisasi Penerimaan Perpajakan dan anggota Kelompok Kerja APBN Tim Transisi Jokowi-JK ini.
KONTAN : Ada tiga RUU tentang perpajakan yang masuk ke prolegnas 2016, seperti RUU Revisi KUP dan RUU Pengampunan Pajak, Menurut Anda, apa UU yang seharusnya diprioritaskan pemerintah?
PRASTOWO : Seharusnya KUP, karena itu hukum formal yang menjadi landasan bagi administrasi perpajakan. Visi atau prinsip, hak kewajiban, tata cara semua diatur di situ. Jadi kalu kita ingin masuk ke system perpajakan yang baru, seharusnya itu tercermin dalam UU KUP. Saya piker pembahasan KUP dan tax amnesty tidak bisa terpisah jauh. Karena dalam pembahasan tax amnesty ada yang bilang kita akan masuk ke new tax system. Apa tandanya? Ya seharusnya UU KUP itu menggarisbawahi apa saja perubahannya.
KONTAN : Memang, apa beda sistim perpajakan yang baru dengan yang sekarang?
PRASTOWO : Yang paling fundamental adalah Ditjen Pajak menjadi badan otonom. Transformasi menjadi badan itu akan menimbulkan perubahan mendasar, termasuk mengubah system. Isu krusialnya, apakah momentum ini benar-benar dimanfaatkan, dan tidak sekedar ganti baju. Apakah ada reassessment untuk memastikan pegawai pajak kredibel, berintegritas dan professional? Lalu, kedudukan badan terhadap Kementerian Keuangan (Kemkeu) seperti apa? Bagaimana bentuk pengawasannya? Itu harus dipikirkan.
RUU memuat pasal-pasal tentang peran serta masyarakat. Ada juga perubahan istilah, seperti wajib pajak menjadi pembayar pajak. Ini bisa jadi cermin bahwa UU yang baru akan menghargai dan menghormati wajib pajak. Mereka punya kedudukan setara dengan pemerintah. Atau, penurunan sanksi perpajakan , dari 2% jadi 1%. Perubahan-perubahan itu secara normative bagus. Tetapi kalau tidak terjemahkan dalam aturan pelaksanaan, atau dalam spirit sehari-hari sama juga bohong. Problem kita itu, pintar merumuskan, tetapi tidak bisa menjalankan dengan baik.
KONTAN : Jika melihat draf UU KUP saat ini, apa yang masih kurang dalam konteks reformasi pajak?
PRASTOWO : Ada yang belum keliahatan, seperti sengketa pajak yang sering terjadi. Sengketa itu muncul karena perbedaan interpretasi. Nah, penyebab beda intrepertasi adalah ketidakjelasan. Agar ketidakjelasan hilang, ya, harusnya dibuat jelas dalam UU. Semisal, apa mungkin wajib pajak tiba-tiba langsung dipidana? Menurut teori, tidak bisa karena pidana pajak bersifat ultimatum remedium, jalan terakhir. Yang sekarang terjadi, banyak dispute langsung pidana. UU KUP yang baru seharusnya lebih tegas menempatkan pidana sebagai ultimatum remedium.
Kita juga butuh menyelaraskan KUP dengan UU Pengadilan Pajak. Cuma kok UU Pengadilan Pajak tidak masuk dalam prolegnas tahun ini. Aneh juga, kita mau reform pajak, tapi pengadilan tidak di-reform.
KONTAN : Apa UU Pengadilan Pajak itu sudah tidak sesuai lagi dengan UU KUP yang baru?
PRASTOWO : Ya, dan itu bisa merugikan wajib pajak. Misal UU Pengadilan Pajak mengatur 50% sementara aturan di draf UU KUP, sudah beda. Ini akan memunculkan penafsiran hakim yang berbeda. Belum lagi, pengadilan pajak itu masih punya dua kelamin. Sekretariat di bawah Kemenkeu, namun pengawasan hakim di bawah Mahkamah Agung (MA).
Rancangan UU KUP juga tak menyinggung independensi lembaga keberatan yang menyelesaikan sengketa antara wajib pajak dan kantor pajak. Selama lembaga keberatan di bawah Ditjen Pajak, ia dianggap tidak independen. Setidaknya RUU KUP menyederhanakan prosedur penyelesaian keberatan, dari 12 bulan menjadi, katakanlah, 6 bulan?
Ada lagi soal pemeriksaan. Selama ini energy kantor pajak habis untuk memeriksa Surat Pemberitahuan (SPT) yang lebih bayar dan meminta restitusi. Mengapa UU yang baru tidak berani keluar dari kebiasaan memeriksa SPT yang lebih bayar. Mengapa proses restitusi untuk SPT lebih bayar tidak disederhanakan, hingga energy bisa dialihkan untuk memeriksa SPT yang kurang bayar. Karena justru di situ ada potensi pajak.
KONTAN : Jadi, agenda reformasi di RUU KUP tidak tuntas?
Prastowo : Menurut saya belum. Titik beratnya lebih ke soal organisasi yang baru, bukan ke filosofi atau konsep yang bisa menjadi spirit bagi aturan pelaksanaan UU.
Sekarang yang penting, pemerintah dan DPR menyepakati roadmap reformasi pajak seperti apa. Jika sudah ada, itu bisa dikunci
Selama pemerintahan Jokowi. Tanpa itu, kabinet Jokowi jangan-jangan tidak melakukan apa-apa dalam reformasi pajak karena tidak punya fokus dan tidak punya roadmap.
KONTAN : Roadmap yang ideal seperti apa
PRASTOWO : Untuk melakukan reformasi, kita harus bisa memetakan persoalan mendasarnya apa. Harus ada matriks prioritas dari persoalan yang penting mendesak hingga yang ke penting tidak mendesak. Itu kita turunkan dalam skala RUU. Apa yang harus didahulukan. Lalu, turunan-turunan dari reformasi itu harus jelas.
Kalau dipilah, ada tiga faktor reformasi, yaitu tax policy, aturan teknis dan administrasi. Selama ini, reformasi kita hanya di administrasi, seperti e-filling dan e-faktur. Seharusnya, menyentuh juga level regulasi, baru turunannya. Tanpa itu, koordinasi tidak akan terjadi. Begini contohnya, kita ingin melakukan tax amnesty, tetapi dua tahun lagi akan berlaku automatic exchange of information. Ternyata, kita masih belum punya akses ke perbankan. Berarti harus ada perubahan di UU perbankan, selain di UU KUP. Kita lihat, perubahan dua UU ini tidak berbarengan. Bagaimana bisa dipastikan, aturan turunan kedua UU itu akan harmonis? Lalu soal informasi teknologi (IT). Kita bangun sistem IT, tapi tidak punya single identification number. Apa bisa?
KONTAN : Penerimaan di awal tahun ini turun dibandingkan tahun lalu. Anda melihat ini ada hubungannya dengan penerapan tax amnesty yang lambat?
PRASTOWO : Data yang saya hingga pertengahan Februari, penerimaan Rp 106 triliun. Sedang akhir Februari tahun lalu Rp 131 triliun. Memang agak mengejar angka tahun lalu. Tapi penurunan itu, saya pikir tidak ada hubungannya dengan tax amnesty, yang sifatnya extra ordinary. Penyebab penurunan tahun ini alamiah. Lihat saja, seluruh PPN turun. Ini berarti ekonomi kita turun secara riil.
KONTAN : Anda melihat ada urgensi pemerintah mengubah konsep PPN menjadi Goods and Service Tax (GST) dari konsep Value Added Tax (VAT) yang saat ini digunakan?
PRASTOWO : Tidak ada. Itu sebenarnya misleading pemahaman saja kalau ingin menerapkan cash register. Selama ini, PPN dengan VAT juga bisa menggunakan cash register. Itu hanya soal teknis, dari manual menjadi pemakaian alat.
KONTAN : Apa benar, konsep GST akan mengakibatkan penerimaan PPN merosot?
PRASTOWO : Saya kira sisi penerimaan tidak akan berubah. Yang penting itu sebenarnya mengubah di tingkat ritel. Apa pajaknya bisa difinalkan? Jadi, sewaktu-waktu perubahan ini gagal, kita bisa kembali lagi ke mekanisme terdahulu. Jangan kita terburu mematok harus final pakai cash register. Kalau salah atau gagal nanati kita harus revisi UU lagi. Saya kira lebih tepat diatasi dengan aturan di tingkat Kemenkeu.
KONTAN : Apa yang dimaksud dengan final dengan cash register? Apa bedanya dengan sistem GST total?
PRASTOWO : Begini, kita ambil contoh pedagang di Tanah Abang. Banyak di antara mereka kan pengusaha kena pajak yang harus menerbitkan faktur pajak. sewaktu menjual, dia membuat pajak keluaran. Waktu beli, dia dipungut PPN, yang menjadi pajak masukan. Ketika mengisi SPT, pajak keluaran diperhitungkan selisihnya dengan pajak masukan. Ketika mengisi SPT, pajak keluaran diperhitungkan selisihnya dengan pajak masukan. Kalau selisihnya lebih besar, mereka harus setor. Nah, kalau kita menggunakan konsep final, ya berarti di level ritel seperti pedagang Tanah Abang, tidak ada lagi proses pengkreditan. Tinggal hitung saja berapa PPN ritel yang harus ditanggung, misal tarifnya 2% langsung dikali dengan omzet. Jumlah itu yang langsung masuk ke kas negara.
KONTAN : Pembahasan tax amnesty paling cepat tuntas bulan April mendatang. Apa pengampunan pajak masih bisa menyumbang penerimaan di tahun ini? Karena dulu kabarnya sempat ada masalah dalam waktu penerapan.
PRASTOWO : Kalau pembahasan selesai April, bisa saja dijalankan di semester dua. Jadi masih bisa menyumbang untuk penerimaan pajak tahun ini. Kalau menyeberang tahun, sebetulnya tidak masalah. Negara lain juga ada yang memberlakukan tax amnesty hingga menyeberang tahun.
KONTAN : Kalau pembahasannya berlarut-larut seperti sekarang, apa masih relevan menanti tax amnesty?
PRASTOWO : Memang, semakin lama pembahasan, semakin turun animo publik. Bisa saja mereka berpikir kalau lama begini jangan-jangan tidak serius nanti pelaksanaannya. Nanti data saya bocor dan sebagainya. Soal trust, saya pikir belum terbangun.
Lalu belum ada yang memikirikan teknis administrasinya. Sekarang sudah ada, tapi yang merancang masih level bawah. Begini, kalau ada pertanyaan simple, yang mau minta pengampunan lapor ke siapa? Karena kalau orang lapor, lalu datanya dibuka atau diecer-ecer, kan bisa malu. Yang harus diantisipasi dalam pelaksanaannya tax amnesty adalah mencegah moral hazard. Misal, untuk mendapatkan pengampunan, wajib pajak kan harus tidak lagi memiliki sengketa. Nah ini bisa jadi godaan bagi pengadilan pajak untuk mempercepat penyelesaian perkara. Atau bisa juga, kantor pajak berlama-lama melakukan pemeriksaan.
KONTAN : Wacana yang sempat kami dengar, pengampunan pajak itu akan dilakukan melalui e-filling. Jadi tidak ada yang tahu siapa yang minta amnesty.
PRASTOWO : Kabar yang saya dengar, mereka yang meminta pengampunan harus mengisi formulir fisik..
KONTAN : Tapi memang tetap ada jejak ya kalau syarat peminat tax amnesty harus bebas dari sengketa, atau tak lagi disidik. Orang pasti akan mendengar ada penghentian penyidikan atau pencabutan sengketa.
PRASTOWO : Ya. Dan yang harus diantisipasi itu jangan sampai ada orang pajak yang berpikiran, lebih baik terbitkan surat perintah pemeriksaan sebanyak mungkin. Tidak usah diselesaikan saja pemeriksaannya , jadi duit deh.
Sumber: KONTAN
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar