Ekonom Singgung Nurani Prabowo Karena Kebijakan Tax Amnesty Jilid III

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebutkan bahwa tax amnesty jilid III dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dapat dianggap sebagai barter kebijakan yang kontroversial.

“Kebijakan ini seolah menjadi barter yang kurang etis di tengah transisi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Banyak pihak mempertanyakan sensitivitas sosial dan keberpihakan pemerintah terhadap keadilan fiskal di tengah situasi ekonomi yang menantang,” kata Achmad dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu (11/12/2024).

Menurut dia, pengulangan program tax amnesty menciptakan budaya bahwa wajib pajak tidak takut untuk melanggar aturan, lantaran mereka yakin pemerintah akan selalu memberikan pengampunan di kemudian hari. Hal ini, tentu melemahkan sistem perpajakan yang seharusnya mengutamakan kepatuhan secara sukarela dan adil.

“Pengulangan program semacam ini dikhawatirkan menciptakan moral hazard di kalangan wajib pajak, yang merasa mereka selalu dapat dimaafkan oleh negara meskipun tidak patuh,” kata Achmad.

Ia juga bilang bahwa seharusnya sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan berjalan efektif agar program seperti tax amnesty tidak perlu diulang. “Langkah ini juga mengirimkan sinyal bahwa pemerintah lebih memilih jalan pintas daripada menyelesaikan akar masalah kepatuhan pajak,” tegasnya.

Dia menuturkan, kebijakan ini dapat dianggap mencerminkan pendekatan yang pragmatis, tetapi kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas.

“Dalam konteks ini, nurani Prabowo sebagai pemimpin dipertanyakan. Apakah kebijakan ini benar-benar mencerminkan komitmennya untuk memperjuangkan keadilan sosial? Ataukah kebijakan ini hanya merupakan kelanjutan dari pendekatan pragmatis pemerintahan sebelumnya yang lebih fokus pada penerimaan negara daripada keadilan fiskal?” kata Achmad.

Keadilan Fiskal di PPN 12%

Sementara itu, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% juga menjadi perhatian. Pemerintah disebut telah menggodok kebijakan ini, yang dinilai Achmad membebani kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi (high-income earners).

Dalam hal ini, Achmad menilai kebijakan tarif PPN 12% memiliki tujuan redistributif untuk mendukung program-program yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat, termasuk golongan menengah dan bawah.

“Di tengah wacana tax amnesty, pemerintah juga merencanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025, terutama untuk barang mewah. Secara teori, kenaikan ini dapat dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kaya, sehingga menciptakan keadilan fiskal,” jelas Achmad.

Sebelumnya, Komisi X DPR RI telah menyepakati untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Beleid ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dalam Rapat Paripurna yang digelar Sabtu, (19/11/2024). Berdasarkan penuturan DPR, tax amnesty jilid III ini akan langsung belaku pada tahun 2025 mendatang.

Diskusi tentang RUU Tax Amnesty jilid III semakin ramai setelah pembahasannya mencuat dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Polemik terkait regulasi ini disebut-sebut akan terus berlanjut, mengingat dampaknya terhadap sistem perpajakan nasional.

Sumber: Investor.id

https://pengampunanpajak.com/



Kategori:2025

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar