
Tax Amnesty atau pengampunan pajak merupakan program yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak melalui penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi serta sanksi pidana di bidang perpajakan. Caranya adalah dengan mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dalam SPT, melunasi seluruh tunggakan pajak, serta membayar uang tebusan. Hal ini dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memotivasi mereka untuk melaporkan hartanya. Dengan meningkatnya rasio kepatuhan pajak akan berpotensi meningkatan penerimaan negara.
Tax Amnesty bukan merupakan kebijakan baru yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Tax Amnesty pertama kali dilakukan pada era Presiden Jokowi di tahun 2016. Tax Amnesty Jilid I bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas basis pajak, dan mendorong repatriasi asset yang berada di luar negeri. Program Tax Amnesty jilid I berhasil mencatat penerimaan sebesar 165 triliun dari uang tebusan dan 1000 triliun dari repatriasi aset. Namun sayangnya, tingkat kepatuhan wajib pajak pasca tax amnesty jilid I masih rendah.
Kebijakan serupa kembali dilakukan Pemerintah Indonesia pada tahun 2022 melalui program yang bernama Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II. Pemerintah lagi dan lagi berupaya memberikan keringanan agar Wajib Pajak mengungkapkan pajak yang belum dibayarnya. Namun, penerimaan negara atas kebijakan Tax Amnesty jilid II ini tidak sesuai dengan harapan. Penerimaan negara yang di dapatkan hanya mencapai Rp62 triliun, jauh di bawah target awal sebesar Rp103 triliun.
Meskipun telah dilakukan 2 kali, kebijakan ini masih banyak menimbulkan pertanyaan. Apakah tax amnesty ini efektif untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak? Dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Kebijakan Tax Amnesty ini merupakan salah satu langkah strategis pemerintah di dalam perekonomian, karena akan menambah pendapatan negara yang akan digunakan untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, adanya Tax Amnesty ini membuat negara mendapatkan basis data wajib pajak yang lebih lengkap. Ini akan menjadi modal negara untuk dapat menelusuri wajib pajak mana yang tidak patuh.
Namun di sisi lain, kebijakan ini menuai kontra. Banyak pihak khawatir apabila kebijakan ini kembali dilakukan akan efektif atau tidak. Mengingat jarak waktu antara Tax Amnesty sebelumnya dapat dibilang relatif singkat.
Arief berpendapat bahwa pelaksanaan program Pengampunan Pajak secara berulang justru dapat mendorong praktik pengemplangan pajak. “Tax amnesty menjadi tidak kredibel jika dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini justru bertentangan dengan tujuannya. Masyarakat bisa saja sengaja tidak membayar pajak karena mengetahui bahwa suatu saat akan ada program tax amnesty lagi,” ujarnya dalam konferensi pers pertama DEN di Jakarta, Minggu (12/1/2025).
Pengampunan pajak ini berpotensi menurunkan rasa percaya wajib pajak yang telah tepat waktu dan patuh untuk membayar pajak kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa pemerintah gagal untuk menegakkan hukum terhadap wajib pajak yang tidak patuh, sehingga menimbulkan rasa tidak adil. Selain itu, kebijakan ini juga memicu pemikiran negatif wajib pajak untuk sengaja memilih tidak membayar pajak tepat waktu karena mengaharapkan adanya tax amnesty di masa yang akan mendatang. Fakta bahwa tingkat rasio kepatuhan wajib pajak yang cenderung stagnan bahkan menurun pasca kebijakan ini berakhir semakin memperdalam kekhawatiran dan menumbuhkan pesimisme dari masyarakat. Jika hal ini terus terjadi, tentu akan berdampak pada penerimaan pajak dalam jangka panjang dan melemahkan sistem perpajakan secara keseluruhan.
Untuk itu, pemerintah perlu menganalisis secara mendalam dampak yang terjadi apabila wacana Tax Amnesty ini kembali dilakukan. Analisis ini harus dilakukan secara menyeluruh dan bukan hanya berorientasi pada dampak jangka pendek namun juga jangka panjangnya. Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah pengawasan pasca program yang bertujuan untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga berkelanjutan.
Selain itu, evaluasi tingkat keefektifan juga perlu dilakukan, dengan berkaca dari program tax amnesty sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan teknologi digital seperti Coretax untuk mengintegrasikan data wajib pajak. Hal ini dapat membantu pemerintah untuk menentukan langkah yang tepat dalam menerapkan kebijakan ini.
Transparansi pemerintah juga menjadi faktor tidak kalah penting karena berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan masyarakat. Mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi, pemerintah harus dapat menjelaskan alasan apa yang menjadi latar belakang kebijakan ini kembali dilakukan. Bagaimana kebijakan tax amnesty yang “baru” ini akan diimplementasikan. Apakah terdapat urgensi tertentu yang membuat kebijakan tax amnesty menjadi satu-satunya cara untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Dengan melakukan analisis mendalam, evaluasi yang komprehensif, dan menjaga transparansi, diharapkan tax amnesty tidak hanya menjadi kebijakan yang bersifat repetisi tetapi dapat menjadi solusi yang efektif untuk memperkuat tingkat kepatuhan wajib pajak di negeri ini. Kebijakan Tax Amnesty harus dirancang dengan hati-hati agar tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk sistem perpajakan yang lebih baik di masa depan.
Sumber: Kompasiana
Kategori:2025
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
DPR Pastikan Tax Amnesty Jilid III Tak Berlaku Tahun Ini
Tax Amnesty Jilid 3: Solusi atau Karpet Merah Bagi Pengemplang Pajak?
Helena Lim Akan Kasasi Kasus Timah, Sudah Tax Amnesty Jadi Salah Satu Alasan
Tinggalkan komentar