Dalam memperluas ruang fiskal dalam APBN, pemerintah Presiden Jokowi sangat konsen terhadap peningkatan penerimaan Negara terutama penerimaan perpajakan. Pemerintahan Jokowi menerapkan target tinggi dalam RAPBN Perubahan 2015 sebesar Rp. 1.300 triliun. Dibandingkan dengan APBN 2015, target tersebut naik Rp. 100 triliun. Kemungkinan kenaikan tersebut sebagai kompensasi atas target penurunan penerimaan Negara dari PNBP yang turun sekitar Rp. 130 triliun akibat penurunan lifting dan anjloknya harga minyak dunia.
Untuk merealisasikan target tersebut, diperlukan all necessary effort. Berbagai upaya strategis yang berkaitan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi dilakukan agar mencapai hasil segera dan besar (big fast result), antara lain langkah proaktif dengan meminta informasi data simpanan/aset warga Indonesia di Singapura atau exchange of informationi (EOI) on request yang diperkirakan mencapai Rp. 3.000 triliun, juga upaya pencegahan ke luar negeri, pengumuman secara terbuka, dan gijzeling (paksa badan) terhadap para penunggak pajak besar.
Salah satu rencana “kontroversial” yang akan dilakukan adalah memberlakukan kebijakan pajak (tax amnesty) Tax Amnesty adalah kebijakan di bidang perpajakan yang dipolakan untuk memberikan insentif berupa penghapusan pokok pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi dan atau pidana pajak atas ketidakpatuhan yang telah dilakukan Wajib Pajak di masa lalu demi peningkatan kepatuhan dan sebagai jalan keluar untuk meningkatkan penerimaan di masa yang akan datang.
Tujuan dari penerapan tax amnesty selain untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan Negara, juga mempunyai impact terhadap investasi dengan adanya perpindahan dana/ modal dari luar negeri ke dalam negeri (capital inflow), sehingga akan menimbulkan multiplier effeck bagi perekonomian.
Penerapan kebijakan tax amnesty telah dilakukan di banyak negara di dunia, seperti Italia, Belgia, Prancis, India, dan Afrika Selatan. Pemerintah Afrika Selatan misalnya, menerapkan strategi melalui strategi pull & push, yakni menarik atau memberikan insentif pada wajib pajak agar tertarik ikut serta dalam program ini. Salah satu caranya adalah dengan penghapusan denda dan atau bunga pajak terutang atau pembayaran tebusan dengan tarif yang rendah.
Apabila kita melihat ke belakang, sebenarnya Indonesia pernah menerapkan kebijakan tax amnesty, yaitu kebijakan pengampunan pajak tahun 1964, 1994, dan sunset policy di tahun 2008. Implementasi kebijakan pengampunan pajak tahun 1964 dan tahun 1984 dinilai kurang sukses karena tidak mendapat respon dari Wajib Pajak dan tidak dibarengi dengan perbaikan struktural mencakup sistem perpajakan, evaluasi dan monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak, serta penerapan law enforcement.
Penerapan internal
Penerapan sunset policy tahun 2008 berupa penghapusan sanksi atas bunga administrasi perpajakan telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT, dan tambahnya penerimaan PPh sebesar Rp. 7,46 triliun. Kebijakan ini cukup berhasil karena dapat merealisasikan target penerimaan sebesar 106,84% (target Rp. 534,520 triliun, tercapai 571,106 triliun). Realisasi penerimaan tahun 2008 tersebut merupakan satu-satunya pencapaian yang melebihi target penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir
Apabila pemerintahan Presiden Jokowi akan menerapkan kebijakan tax amnesty, dibutuhkan waktu dan proses persiapan yang panjang serta kajian yang mendalam terlebih dahulu. Pertama, aspek legal atau payung hukum yang mengatur tentang tax amnesty. Dalam aturan perpajakan yang telah ada, sampai saat ini belum terdapat klausul secara eksplisit yang mengatur tentang tax amnesty. Permasalahan aturan yang perlu mendapat perhatian utama adalah menyangkut siapa saja yang mendapatkan tax amnesty, penghapusan atas pokok pajak dan sanksi/denda serta perkara pidana perpajakan. Juga perlu ada harmonisasi dengan aturan-aturan lainnya sehingga tidak menimbulkan pertentangan.
Kedua, kepastian hukum. Kebijakan yang telah diputuskan diharapkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pajak yang melaksanakan kebijakan tersebut. Dari sisi Wajib Pajak, kebijakan tax amnesty harus dapat memberikan perlakuan adil dan kepastian hukum. Artinya, baik bagi Wajib Pajak maupun Wajib Pajak tidak patuh (tax evaders) harus dapat dipastikan semua kewajiban perpajakannya dilaporkan secara benar, tidak ada yang disembunyikan dan mengurangi kesempatan timbulnya moral hazard di kemudian hari.
Aparat pajak (fiscus) harus dapat melaksanakan implementasi kebijakan tersebut dengan adil dan penuh tanggung jawab. Artinya, di kemudian hari jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap pegawai pajak karena memberikan pengampunan pajak dianggap merugikan keuangan negara.
Ketiga, kesiapan kelembagaan ototritas pajak. Kebijakan penerapan tax amnesty hendaknya dilaksanakan bersamaan dengan reformasi perpajakan, yakni perubahan UU perpajakan dan perubahan struktural. Hal ini dapat mendukung sistem pemungutan pajak sehingga kebijakan pengampunan pajak dapat dirasakan efeknya secara lebih menyeluruh.
Keberhasilan kebijakan penerapan tax amnesty bergantung juga pada kredibilitas (trust), administrasi perpajakan yang baik, dan aspek penegakan hukum pajak. Rencana transformasi kelembagaan Ditjen Pajak harus dibarengi dengan perbaikan struktural yang mencakup sistem perpajakan, perbaikan integritas, kapasitas, kompetensi pegawai, pelaksanaan evaluasi dan monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak secara kontinyu, serta penerapan law enforcement yang ketat tanpa pandang bulu.
Selain itu, untuk mendukung program tax amnesty, hal yang perlu ditekankan adalah pelaksanaan publikasi terhadap penerapan kebijakan tax amnesty secara masif, sehingga pesan kepada masyarakat, terutama Wajib Pajak tentang manfaat dari tax amnesty, tersampaikan.
Sumber: KONTAN
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan