Keadilan dalam Tarif Uang Tebusan

15Pembahasan RUU Pengampunan Pajak (PP) memasuki babak akhir, salah satu materi krusial adalah tariff uang tebusan. Berdasarkan RUU PP, besarnya uang tebusan dihitung dengan mengalihkan tariff dengan dasar pengenaan uang tebusan.

Apapun justifikasi yang disampaikan pemerintah, PP ini memang mengusik rasa keadilan bagi Wajib Pajak (WP) yang selama ini telah jujur dan taat melaporkan kewajiban pajaknya. Kelompok WP ini misalnya WP yang penghasilannya telah di potong pajak, baik melalui pemotongan oleh pemberi kerja (PPh Pasal 21) maupun oleh pemotong lainnya.

Fasilitas WP yang mengikuti PP ini memang luar biasa. Antara lain penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan pidana bidang perpajakan.

Sekedar ilustrasi, WP tidak melaporkan penghasilannya Rp 100 Miliar. Tanpa PP, WP Orang Pribadi (OP) dikenai tarif progresif dan terutang PPh Rp 29,94 miliar dan WP Badan terutang Rp 25 miliar. Jika penghasilan tersebut objek PPN, terutang PPN Rp 10 miliar. PPh dan PPN terutang semakin besar jika WP diperiksa, dikenai bunga maksimal 48% dari pajak kurang bayar. Belum lagi jika penghasilan yang tidak dilaporkan itu merupakan tindak pidana bidang perpajakan, WP akan dikenai sanksi pidana antara lain denda.

Dengan mengikuti PP, berdasarkan tarif RUU PP, WP bisa hanya bayar uang tebusan Rp 1 miliar dan hapuslah PPh, PPN terutang. Bisa dibayangkan betapa kecewanya WP yang karena sistem penghasilannya dipotong pajak. Bukan tidak mungkin WP yang tidak setuju dengan PP ini, antara lain dengan menetapkan tariff yang relatif lebih adil.

Berdasarkan pasal 3 RUU PP, terdapat dua kelompok tarif uang tebusan, non repatriasi dan repatriasi. Kelompok repatriasi adalah WP yang dalam surat permohonan PP hartanya berada dan/ atau ditempatkan di luar Indonesia dan atas harta tersebut dialihkan ke Indonesia serta diinvestasikan selama jangka waktu tertentu di Idonesia.

Masing-masing kelompok, tarifnya ditetapkan secara progresif sesuai dengan periode pelaporan. Pelaporan yang lebih awal tarifnya lebih rendah. WP yang melakukan repatriasi tarifnya lebih rendah, hanya separuhnya. Tarif non repatriasi 2% untuk periode pelaporan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga sejak UU PP berlaku, 4% bulan keempat s.d akhir bulan keenam dan 6% bulan ketujuh sejak UU PP berlaku sampai dengan 31 Desember 2016. Sedangkan tarif repatriasi masing-masing 1%, 2% dan 3%. Tarif 3 periode pelaporan dalam RUU PP dengan asumsi UU PP mulai berlaku sebelum 1 Juli 2016.

Tarif uang tebusan yang diusulkan pemerintah dalam RUU PP sangat rendah dan tidak adil bagi WP patuh. Tarif ini lebih rendah dari PP tahun 1984 yang dilakukan berdasarkan Keppers Nomor 26 Tahun 1984 sebesar 10%. Pemerintah sepertinya hanya melihat tarif terendah PPh OP karena mungkin yang lebih dituju dari PP ini WP OP. Padahal, WP yang berhak mendapatkan PP adalah WP OP dan badan. Perbedaan beban pajak yang dibayar WP patuh dengan WP peserta PP ini sangat jauh. Beberapa negara yang telah menerapkan PP tidak memberikan diskon tarif yang sangat berlebihan.

Alternatif Tarif

Justifikasi pemerintah memberikan insentif kepada WP yang menarik harta yang berada dan/ atau  ditempatkan di luar Indonesia dapat dipahami. Repatriasi harta diperlukan untuk memperbaiki struktur ekonomi melalui peningkatan pembentukan modal di dalam negeri.

Akan tetapi, tarif repatriasi yang hanya separuh sepertinya terlalu berlebihan. Perbedaan tarif repatriasi sekitar 25% disbanding tarif non repatriasi diperkirakan masih cukup mendorong repatriasi harta yang berada di luar negeri dan lebih mudah bagi pemerintah untuk menjelaskannya kepada masyarakat.

Dalam UU PPh, bagi WP OP berlaku tarif progresif (Pasal 17 ayat (1)) dan WP Badan berlaku tarif tunggal (Pasal 17ayat (2a)). Khusus untuk WP Badan yang berbentuk perseroan terbuka, dengan persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif 5% lebih rendah dari tarif Pasal 17 ayat (2a).

WP Badan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar berlaku Pasal 31E, mendapatkan fasilitas pengurangan tarif 50%. Penetapan tarif PPh seperti ini diyakini memperlihatkan aspek keadilan, WP OP dikenai tarif lebih tinggi jika penghasilannya lebih besar dan WP badan dengan skala UMKM tarifnya lebih rendah.

Pemikiran penetapan tarif seperti di UU PPh, bisa juga diterapkan dalam tarif uang tembusan. Lampiran Penghasilan Kena Pajak diganti dengan lapisan dasar pengenaan uang tembusan. Hasil penghitungan nya diberikan diskon dengan prosentase tertentu, yang mencerminkan fasilitas yang diberikan pemerintah sehubungan dengan PP, yang hasilnya merupakan besarnya uang tebusan.

Besarnya diskon ditetapkan misalnya 75%, sehingga WP membayar uang tembusan 25% dari tarif yang diatur dalam UU PPh yang diterapkan dari dasar pengenaan uang tebusan. Bagi WP OP, tarif progresif Pasal 17 ayat (1) huruf a, yaitu 5%, 15%, 25% dan 30% diterapkan terhadap dasar pengenaan uang tembusan.

Bagi WP Badan Perseroan terbuka di tentukan saja tarifnya mengikuti tarif PPh Badan Pasal 17 ayat (2). WP Badan UMKM, tarifnya 50% dari WP Badan non UMKM. Penentuan WP Badan UMKM berdasarkan  besarnya dasar pengenaan uang tembusan, yang jumlahnya bisa sesuai dengan pasal 31E. WP badan yang dasar pengenaan uang tebusannya sampai dengan Rp 4,8 miliar, tarif uang tebusannya 50% lebih rendah.

Dengan mengambil contoh ilustrasi diatas dan diskon ditetapkan 75% serta tarif WP repatriasi 75% dari WP non repatriasi, uang tebusan yang harus dibayar WP OP non repatriasi Rp 7,48 miliar (25% x Rp 29,94 miliar) dan WP OP repatriasi Rp 5,61 miliar (75% x Rp 7,48 miliar). Uang tebusan WP Badan non repatriasi Rp 6,25 miliar (25% x Rp 25 miliar) dan Rp 4,68 miliar (75% x Rp 6,25 miliar) bagi WP Badan repatriasi. WP Badan yang dasar pengenaan uang tembusannya misalnya Rp 4 miliar, uang tebusan non repatriasi Rp 0,5 miliar (25% x Rp 4 miliar x 5%) dan repatriasi Rp 375 juta (75% x Rp 0,5 miliar).

Pembedaan tarif uang tembusan berdasarkan periode pelaporan tidak perlu dilakukan. Mengingat waktu pemberlakuan PP yang relatif singkat, apabila ada pembedaan tarif, dikhawatirkan isian surat permohonan PP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan alternatif tarif seperti ini, lebih meningkatkan keadilan dan pemerintah dapat lebih mendapatkan tambahan penerimaan pajak dalam jangka pendek.

Sumber: Kontan Kamis 23 Juni 2016

Penulis: Didik Budi Waluyo (Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak)

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: