
JAKARTA. Keinginan sejumlah konglomerat agar Pemerintah Indonesia mendirikan wilayah suaka pajak, akan sulit terlaksana. Sebab Indonesia merupakan salah satu negara anggota G-20 yang menolak keras penghindaran pajak dan menginginkan transparansi data pajak.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Goro Ekanto bilang, pendirian kawasan khusus yang berfungsi sebagai surga pajak atau tax haven akan menimbulkan pertanyaan dari negara-negara anggota G-20 lainnya. “Apakah akan melanggar atau membahayakan tax practice atau tidak?,” katanya, Rabu (24/8).
Dengan kondisi itulah, menurut Goro, pemerintah masih menimbang-nimbang apakah pembentukan suaka pajak tersebut perlu dilakukan atau tidak. Apalagi menurutnya, sampai saat ini belum ada arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal wacana pembentukan wilayah suka pajak ini.
Yang pasti, wacana ini sebenarnya sudah pernah diungkapkan Bambang Brodjonegoro sewaktu menjadi Menteri Keuangan. Menurut Bambang kala itu, pembentukan suaka pajak akan dilakukan setelah tax amnesty selesai. “Begitu tax amnesty selesai, pengusaha kalau punya bisnis di luar negeri, bisa membuat Special Purpose Vehicle (SPV) disini,” katanya, waktu itu.
Tanpa mengatakan lokasi tepatnya, nantinya kewajiban pajak di wilayah tersebut lebih ringan. Langkah ini untuk menarik perusahaan cangkang diluar negeri kembali ke dalam negeri. Data ditjen Pajak menunjukkan, diperkirakan ada 2.251 SPV yang dimiliki warga Indonesia di negara surga pajak di luar negeri.
Wacana ini kembali mengemuka setelah Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Khusus Muhammad Haniv mengungkapkan adanya permintaan sejumlah konglomerat Indonesia yang mensyaratkan adanya wilayah suaka pajak sebelum ikut pengampunan pajak dan membawa uangnya ke dalam negeri.
Haniv mengakui saat ini belum banyak konglomerat yangikut tax amnesty, karena konglomerat belum puas dengan fasilitas yang di sediakan pemerintah, terutama jika harus merepatriasi harta.
Mereka bersedia ikut tax amnesty dan merepatriasikan hartanya, namun melalui wilayah suaka pajak. “Selain itu, mereka menginginkan harta yang masuk tanpa tercantum siapa pemiliknya,” kata Haniv. Inilah sebabnya hingga 24 Agustus 2016 kemarin, penerimaan uang tebusan hanya Rp 1,18 triliun atau 0,7% dari target Rp 165 triliun. Sedangkan dana yang direpatriasi hanya Rp 1,94 triliun dari total harta yang dideklarasikan sebesar Rp 59,5 triliun. Sebanyak Rp 50,7 triliun adalah deklarasi harta di dalam negeri.
Pengamat pajak Yustinus Prastowo bilang, untuk membentuk wilayah suaka pajak, pemerintah harus mengedepankan transparansi agar tak dicap rezim rahasia (secrecy). Kesiapan infrastruktur serta pengawasan dan akuntabilitas juga diperlukan. “Harus ada konektivitas suaka pajak dengan sektor riil,” katanya.
Penulis : Adinda Ade Mustami
Sumber : Kontan harian
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar