
Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II mendapatkan banyak penolakan meskipun masih sebatas rencana. Kebijakan tersebut dianggap memberi rasa ketidakadilan kepada wajib pajak yang patuh.
Demikianlah diungkapkan Andreas Eddy Susetyo, Anggota Komisi XI DPR dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5/2021)
“Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit – akan tercederai. Secara psikologis hal ini juga buruk karena dapat menciptakan paham: saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty lagi,” ungkapnya.
Indonesia sudah pernah melaksanakan tax amnesty pada 2016 silam. Andreas menilai kebijakan tersebut harusnya diberikan satu kali dalam satu generasi. Selain mengganggu sistem perpajakan ke depannya, hal itu juga merusak kewibawaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Kami tidak setuju dengan wacana tax amnesty jilid 2 sebagaimana beredar. Hal ini sangat tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan kita. Tidak saja mengingkari komitmen tahun 2016, bahwa tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi,” jelas Andreas.
Pada 2016, tax amnesty berlangsung selama 9 bulan dengan pembagian 3 tahap sesuai tarif yang juga berbeda. Hasilnya deklarasi harta mencapai Rp 4.800 triliun, repatriasi Rp 146 triliun dan uang tebusan Rp 130 triliun.
Pemerintah telah mendapatkan basis data untuk meningkatkan penerimaan pajak selanjutnya. Apalagi setelahnya pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU No. 9 Tahun 2017.
“Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko. Untuk itu kami mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data/informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik,” terang anggota Fraksi PDI P tersebut.
Andreas menyadari, persoalan saat ini adalah rendahnya penerimaan pajak sementara belanja untuk pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi sangat besar. Pemerintah juga tidak mungkin mengandalkan utang terus-menerus.
Namun tetap saja solusinya bukan tax amnesty. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.
“Untuk memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, Pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program} dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi. Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan/atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur,” ujar Andreas.
Sumber: cnbcindonesia
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan