Tak Jelas Pengampunan Karena Buyar Perjanjian

50Batal. Demikian nasib Rapat Paripurna DPR dengan agenda penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang semula diagendaan berlangsung Kamis (18/2).

Menurut informasi dari Sekretariat Jenderal DPR, rapat konsultasi pengganti Badan Musyawah (Bamus) pada Rabu (17/2) malam memutuskan Rapat Paripurna diundur ke Selasa (23/2). Sebab, saat iu, hanya Ketua DPR Ade Komarudin yang berada di Jakarta.

UU Nomor 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur, rapat paripurna harus dipimpin minimal oleh dua pimpinan DPR. Karena hanya ada satu pimpinan DPR yang standby di Jakarta, rapat paripurna pun ditunda.

Sumber KONTAN membisikkan, sejatinya kondisi itu bukan tanpa kesengajaan. Soalnya, sikap-sikap fraksi di DPR masih belum bulat soal RUU tersebut. Kabarnya, Fraksi Partai Gerindra, Demokrat, dan PKS bakal menolak pengesahan RUU KPK menjadi UU. Sikap ini dikhawatirkan bisa menular ke fraksi atau individu anggota DPR yang lain.

Penyebabnya, apalagi kalau bkan karena penolakan dari KPK dan public terhadap RUU tersebut. Sebab, persetujuan KPK terhadap RUU tersebut sesungguhnya memang bagian dari perjanjian awal ketika RUU tersebut dimasukkan lagi dalam program legislasi nasional 2016, kali ini atas usulan DPR.

Awalnya, pemerintah yang mengusulan revisi UU KPK dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 saat rapat kera antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dengan Badan Legislasi DPR, 17 Juni 2005. Usulan ini akhrnya masuk Prolegnas 2015 dalam rapat paripurna DPR, 23 Juni tahun lalu.

Nyatanya, reaksi public begitu keras mengecam RUU ini. Presiden Jokowi sendiri, saat rapa dengan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki, Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung M. Prasetyo dengan tegas menolak revisi ini.

Setelah kandas, karena pemerintah tak jadi menyerahkan draf RUU KPK kepada DPR, 46 orang anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiaif penyusunan RUU KPK dari pemerintah ke DPR. Sebagai gantinya, RUU Pengampunan Pajak atau tax amnesty yang awalnya hendak diusulkan oleh DPR, kini diambil-alih menjadi usulan pemerintah.

Gerindra, Demokrat, dan PKS awalnya tak setuju. Almuzzammil Yusuf, Ketua DPP PKS Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengakui, partainya menolak revisi UU KPK menjadi usul inisiatif DPR. “Kami tidak ingin mengulangi peristiwa yang sama di Juni 2015, ketika pemerintah mengusulkan revisi UU KPK, namun tiba-tiba pemerintah balik badan sehingga DPR dipermalukan,” ujarnya.

Menurut Muzammil, apabila pemerintah serius ingin merevisi UU tersebut, PKS mempersilahkan RUU itu jadi usul pemerintah. Nanti DPR yang akan menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi mereka.

Tetapi, lewat lobi Partai Golkar, tiga partai itu akhirnya setuju. Jalan keluarnya, materi dan pembahasan revisi akan meminta pendapat dan pertimbangan dari KPK. Tanpa persetujuan KPK, partai-partai tersebut akan menolak. RUU KPK sebagai usulan DPR akhirnya disepakati dalam rapat Baleg, 27 November 2015 lalu.

Apa daya, RUU kali ini juga menuai kecaman public. KPK juga tak setuju materi revisi. Tak mau dipermalukan dua kali, Gerindra, Demokrat, dan PKS ambil ancang-ancang menolak. Peta pun berubah.

 

Tax amnesty terganjal

Problemnya, karena menjadi satu paket perjanjian, kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty juga bisa terganjal. Karena RUU KPK tak mendapat dukungan penuh, sangat mungkin RUU tax amnesty juga akan mengalami masalah serupa. Kedua RUU juga bepotensi harus disahkan di rapat paripurna dengan mekanisme voting atau pemungutan suara.

Jauh-jauh hari misalnya, Partai Gerindra tegas menolak RUU Pengampunan Pajak. Salah satu pertimbangannya, menurut Sadar Subagyo, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra, tidak ada control atas dana yang masuk dan tidak ada jaminan dana tersebut akan tetap berada di Indonesia.

Partai Amanat Nasional (PAN) misalya, mengaku belum menentukan sikap. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Eddy Soeparno, tax amnesty sebaiknya tidak menjadi tolok ukur memenuhi kebutuhan anggaran di tahun ini. Apalagi, program ini tidak boleh diberikan berulang-ulang.

Fraksi Partai Kebangkitn Bangsa (PKB) juga memilih berhati-hati. Meski secara umum mengaku mendukung RUU Pengampunan Pajak, namun PKN masih keberatan dengan tariff tebusan yang dinilai terlalu rendah. Menurut Ketua Kelompok Fraksi PKB Badan Legislasi DPR Daniel Johan, rendahnya tarif tebusan pengampunan pajak itu kurang memenuhi rasa keadilan bagi wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak.

Sofjan Wanandi, Kepala Staf Ahli Wakil Presiden, mengakui, pembahasan RUU tax amnesty hingga ini belum bergerak, meski pemerintah telah melayangkan amanat presiden (Ampres) ke perlemen. Sebab, semua pihak sepakat menunggu revisi UU KPK dulu.

Setidaknya, target pemerintah agar RUU tax amnesty bisa resmi disahkan pada Februari ini kemungkinan molor. Cuma Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Soebagyo menilai, hanya ada 27 pasal dalam RUU tax amnesty. Karena itu, kemungkinannya tak akan ada perdebatan yang berlarut-larut dan DPR bisa lebih cepat mengesahkan RUU ini ketika nanti mulai dibahas di DPR.

Partai Golkar tegas mendukung rancangan aturan ini. Menurut Firman, tax amnesty mendukung upaya pemerintah mendapatkan sumber penerimaan pajak. Penerimaan pajak menjadi penting untuk membiayai pembangunan dan program pemerintah. “Kondisi perekonomian saat ini sedang sulit,” tandasnya.

Beberapa poin penting dalam draf final RUU tax amnesty adalah dua opsi tariff tebusan pajak. Pertama. Mulai 1%, 2%, dan 3% dari nilai harta yang dimintakan amnesty untuk wajib pajak (WP) yang menarik dananya yang ada di luar negeri ke Indonesia atau repatriasi aset. Syaratnya, dana tersebut harus diinvestasikan ke obligasi negara, sukuk, atau instrument keuangan pemerintah lainnya.

Kedua, bagi wajib pajak yang tidak mau melakukan repatriasi, tarifnya tebusan pajak mulai 2%, 4%, atau 6%, sesuai dengan termin pengajuan pengampunan pajak. makin cepat diajukan, makin rendah tarifnya. Makin lama diajukan, makin tinggi tariff tebusan pajaknya.

Selain tariff, pemerintah akan menggunakan basis perhitungan tahun pajak 2014. Laporan kekayaan 2014 ini akan dipakai sebagai pengurang total harta bersih yang ingin dapat pengampunan. Selisih dari nilai harta inilah yang akan dikenakan tariff pengampunan pajak.

Menurut Sofjan, tahun pajak 2014 dipilih karena pemerintah ingin cepat-cepat menjalankan dan mendapat penerimaan dari program tax amnesty. “Jadi harapannya UU ini bisa sah sebelum Maret tahun ini,” katanya. Karena saat itu, perusahaan belum merilis laporan keuangannya. Tapi, kalau ternyata pengesahan RUU molor menjadi lewat dari 31 Maret 2016, kemungkinannya harus menggunakan tahun basis pajak 2015.

Menurut Sofjan, sudah banyak wajib pajak yang menyatakan keinginan untuk ikut dalam program tax amnesty. Sebab, dengan ikut program ini, wajib pajak bebas dari kemungkinan pemeriksaan dan tuntutan tindak pidana perpajakan. “Kalau sudah dapat penalty itu artinya ya sudah bebas, enggak ada lagi pemeriksaan apalagi pidana segala macamnya,” ujar Sofjan.

Hitungan Sofjan, potensi penerimaan yang bisa diraih mencapai Rp 2.000 triliun. Itu jauh lebih tinggi dari target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang mencapai Rp 1.546,7 triliun. Ini juga jauh lebih tinggi dari realisasi penerimaan pajak sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 1.060,8 triliun.

Realisasi penerimaan pajak 2015 lebih tinggi 7,68% dibanding tahun 2014 yang sebesar Rp 985,1 triliun. Adapun realisasi PPh nonmigas tahun 2015, naik 12,63% dibanding realisasi tahun 2014 sebesar Rp 897,7 triliun. Dengan adanya program tax amnesty, pemerintah ingin menghitung ulang target penerimaan pajak tahun ini.

Kalau melihat realisasi pajak 2015 sebesar Rp 1.060,8 triliun, tanpa menghitung penerimaan dari tax amnesty, dengan target pertumbuhan alamiah dan extra effort minimal 13%, target pajak tahun 2016 ini sebesar Rp 1.198,7 triliun. Ini jelas lebih rendah dari pada target penerimaan pajak 2016. Dengan kata lain, target bakal meleset lagi.

Karena itu, kunci penerimaan pajak tahun ini ada di kebijakan tax amnesty. “Kalau penerimaan tax amnesty berjalan dan perkiraan penerimaannya cukup besar, maka pemerintah bisa kembali ke prediksi yang awal hingga bisa menutup belanja,” ujar dia.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar