Jakarta -Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) akan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (TA), yang dinilai merupakan praktik legal pencucian uang. YSK meminta agar UU Tax Amnesty dibatalkan.
Demikian disampaikan Ketua YSK yang juga Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso, di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Minggu (10/7/2016).
Kapan diajukan ke MK?
“Kalau sudah nomor di lembar negara, besok pun kami sudah siap. Karena kami memang rencananya akan mendaftarkan besok. Tapi kami akan mencari informasi lagi,” ujarnya.
UU TA disahkan DPR RI pada Selasa (28/6/2016). Melalui undang-undang tersebut, para wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya diberikan pengampunan tidak dipidana dan tidak didenda.
Mereka justru diberi keringanan menebus kesalahan dengan tarif rendah. Tarif tersebut bervariasi, bagi pengemplang pajak dari usaha kecil menengah yang mengungkapkan harta sampai Rp 10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5%, sedangkan yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2%.
Pengemplang pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% untuk Juli-September 2016, 3% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 5% untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.
Pengemplang pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017.
“Kami denger-denger tanggal 15 mau ditandatangani (presiden), tetapi selambat-lambatnya berdasarkan ketentuan undang-undang. Undang-undang yang sudah disahkan DPR, walaupun tidak ditandatangani presiden, maka dalam waktu 30 hari akan mempunyai kekuatan mengikat,” jelas dia.
Sugeng menegaskan, pada sidang uji materi di MK nanti, pihaknya akan mengajukan sejumlah argumen untuk meyakinkan hakim MK bahwa UU TA tersebut tidak sesuai dengan konstitusi. Salah satunya adalah bahwa UU TA melenceng dari prinsip hukum perpajakan.
“Prinsip hukum perpajakan bersifat memaksa, tidak mengenal istilah uang tebusan, apalagi dengan tarif rendah,” kata Sugeng.
Dikatakan, UU TA juga tidak semestinya dibuat dan disahkan, karena data-data mengenai siapa saja pengemplang pajak dan berapa jumlahnya sudah nyata ada sebagaimana beredar dalam Panama Paper.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga sudah menyatakan memiliki data lain di luar yang terungkap di Panama Paper.
“Selintas saya melihat, ini politik anggaran pemerintah yang mau menarik sejumlah uang melalui uang tebusan. Tetapi apakah ini pilihan terbaik? Menurut saya tidak. Justru ini baik bagi orang-orang yang menggelapkan harta kekayaannya bukan pilihan pemerintah yang baik,” ujar dia.
Dengan UU TA, yang terjadi justru sebaliknya, di mana pemerintah secara tak langsung justru memberikan peluang bagi pengemplang pajak untuk mencuci harta kekayaannya secara legal.
“Tadi saya sudah katakan bahwa undang-undang pengampunan pajak ini jadi satu praktik legal pencucian uang, memberikan karpet merah buat pengemplang pajak dan yang menyembunyikan harta kekayaan,” sebutnya.
Melalui UU TA, pemerintah bukannya mempidanakan dan mengenakan denda para pengemplang pajak, sebaliknya menggelar karpet merah bagi kehadiran mereka. Harta kekayaan dan juga status diri para pengemplang pajak dibersihkan dan disucikan.
“Karena itu tidak ada jalan lain, MK harus membatalkan UU TA tersebut,” tutup Sugeng.
Sumber: detik.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar