Pasar saham domestik sedang dilanda euforia. Pemicunya tiada lain Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (UU Tax Amnesty) yang disahkan DPR awal Juli lalu. Para pelaku pasar menilai keberhasilan pemerintah mengegolkan UU Pengampunan Pajak sebagai sentimen positif. Euforia pasar terefleksi pada penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah menembus level psikologis 5.000.
UU Pengampunan Pajak mengamanatkan periode pengampunan pajak selama sembilan bulan, dari 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Tarif tebusan ditetapkan untuk tiga golongan, yakni repatriasi (harta di dalam atau luar negeri yang dialihkan dan diinvestasikan ke dalam negeri), deklarasi (harta di luar negeri yang dilaporkan tapi tidak dialihkan ke dalam negeri), dan nilai usaha sampai Rp 4,8 miliar. Besaran tarifnya masing-masing 2-5 persen, 4-10 persen, dan 0,5-2 persen.
Reaksi pasar tentu saja tidak berlebihan. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik bangsa ini dengan perberlakuan UU Pengampunan Pajak. Paling tidak, pemerintah dapat menambal pos penerimaan pajak yang setiap tahun compang-camping. Tahun ini saja, kekurangan penerimaan pajak (shortfall) ditaksir mencapai Rp 100-200 triliun. Dengan menerapkan kebijakan tax amnesty, pemerintah dapat menghimpun penerimaan pajak dari tarif tebusan minimal Rp 165 triliun, sehingga APBN tak akan lagi bolong-bolong.
Pemerintah sangat berkepentingan dengan postur APBN yang utuh. APBN yang tidak tercabik-cabik menunjukkan anggaran yang manageable. Anggaran yang manageable mencerminkan pemerintahan yang kredibel. Dengan APBN yang manageable dan kredibel, kesinambungan program-program pembangunan lebih terjamin.
Tetapi, APBN yang sehat hanya bagian kecil dari seabrek manfaat yang dapat diraih bangsa ini jika menerapkan tax amnesty. Dalam hitungan-hitungan pemerintah, potensi dana repatriasi mencapai Rp 1.000 triliun atau hampir separuh nilai anggaran belanja dalam APBN-P 2016. Jika dana sebesar itu benar-benar “pulang kampung”, perekonomian nasional akan mengalami lompatan yang sungguh dahsyat.
Besarnya manfaat yang dapat dinikmati bangsa ini dari tax amnesty adalah keniscayaan. Apalagi pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) tengah menyiapkan berbagai instrumen keuangan–dari surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi, saham, reksa dana, hingga dana investasi real estat (DIRE)– untuk menampung dana-dana repatriasi setelah UU Pengampunan Pajak diberlakukan.
Dana-dana repatriasi bukan saja akan menggairahkan pasar modal domestik, tetapi juga bakal membuat nilai tukar rupiah perkasa karena pasokan dolar AS di dalam negeri berlimpah. Sektor riil pun ikut menggeliat karena sebagian dana hasil repatriasi akan masuk ke sektor-sektor produksi. Perekonomian nasional akan tumbuh lebih pesat, tenaga kerja banyak terserap, angka kemiskinan dan pengangguran terpangkas.
Kita percaya, penerapan UU Pengampunan Pajak bukan hanya akan menyedot dana-dana parkir di luar negeri, tetapi juga menarik keluar dana-dana di dalam negeri dari hasil kegiatan ekonomi yang tidak resmi dan ilegal (underground economy), seperti penyelundupan (illegal trading), pembalakan hutan (illegal logging), pencurian ikan (illegal fishing), penambangan liar (illegal mining), dan penambangan pasir laut. Dalam kalkulasi Ditjen Pajak, kehilangan penerimaan pajak dari underground economy mencapai Rp 263 triliun per tahun.
Mengingat manfaatnya yang demikian besar, kita sepakat penerapan UU Pengampunan Pajak adalah momentum tinggal landas bagi perekonomian nasional. Apalagi setelah era keterbukaan informasi keuangan (automatic exchange of information/AEOI) diterapkan secara global mulai 2017-2018, fasilitas pengampunan pajak sulit diberikan. Karena itu, UU Pengampunan Pajak harus dikawal agar secepatnya diimplementasikan.
Kita berharap petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang sedang disusun pemerintah, OJK, dan BI benar-benar implementatif, sesuai harapan para wajib pajak (WP), berlaku adil bagi semua, dan tidak tumpang-tindih dengan aturan lain, apalagi sampai memicu sengketa hukum di kemudian hari. Di sinilah pentingnya otoritas menyerap masukan dari berbagai komponen bangsa, termasuk dari kalangan WP yang berminat mengajukan tax amnesty.
Terus terang, tak ada yang bisa menjamin UU Pengampunan Pajak bakal sukses 100%. Lebih-lebih Indonesia pernah dua kali gagal menerapkan tax amnesty–masing-masing pada 1964 dan 1984–karena kebijakan itu tidak diikuti reformasi administrasi perpajakan secara menyeluruh. Kita tidak ingin bangsa ini terperosok ke dalam lubang yang sama untuk ketiga kalinya, kecuali jika pemerintah memang siap kehilangan kredibilitas.
Sumber: beritasatu.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar