
JAKARTA. Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang tertuang dalam UU Tax Amnesty dan disahkan beberapa waktu lalu, mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Optimisme menyeruak, bukan saja dari kalangan pemerintah, namun juga dari para pelaku bisnis. Potensi penerimaan pemerintah, demikian kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro,mencapai Rp 180 triliun. Ini didapat dari pajak dana repatriasi dari sekitar 6.519 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyimpan dananya di luar negeri dengan nilai sekitar Rp. 3.300 triliun. Kebijakan yang mendorong penerimaan negara tersebut, layak didukung. Namun begitu, dibalik optimisme penerimaan tersebut, prinsip kehati-hatian dan transparansi layak dikedepankan.
Penulis mencatat, dibalik tax amnesty ini terdapat sejumlah problem ikutan yang bisa menjadi bumerang dikemudian hari. Sedikitnya ada dua masalah serius. Yakni, pertama adalah terbatasnya instrumen investasi yang tersedia. Antara lain obligasi, dan surat berharga negara (SUKUK, ORI), dengan total nilai yang tidak sebanding dengan dana yang tersedia.
Sekedar menyebut contoh, per Januari tahun lalu Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat nilai total oligasi pemerintah dan korporasi/swasta sekitar Rp. 46,7 triliun. Lalu kemana sisa dana eks tax amnesty yang diperkirakan ribuan triliun bakal masuk, akan disalurkan?
Masalah serius yang kedua, adalah terkait prinsip keterbukaan dan kehati-hatian. Dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan, menyebutkan sejumlah pihak (lembaga perbankan dan lemaga keuangan non bank) yang bakal dijadikan tempat penampung dana repatriasi. Yakni, 19 bank (empat diantaranya bank pemerintah/BUMN, dan 18 sekuritas/fund manajer.
Belenggu Rasionalitas Dana Swasta Atas lembaga keuangan (bank dan non bank yang terpilih sebagai pengelola dana repatriasi, penulis sama sekali tidak meragukan kredibilitasnya. Terlebih, untuk lembaga perbankan pelat merah; PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk).
Namun, penetapan penerima dana repatriasi (dana eks TA), memunculkan tanda tanya dan persepsi kurang elok. Memang benar, tidak ada perundang-undangan yang dilanggar. Hanya saja, penunjukan secara terbatas lembaga penerima dana repatriasi memiliki konsekwensi tanggung jawab. Manakala dikemudian hari ada penyimpangan, terlebih terjadi ada fraud, maka pemerintah yang telah menunjuk harus ikut memikul beban hukum.
Disisi lain, penunjukkan secara terbatas tersebut juga telah menyalahi azas transparansi dan keadilan. Selain itu juga, menimbulkan praduga negatif; atas dasar apa pula pemerintah hanya melibatkan sedikit lembaga perbankan dan non bank tersebut? Adakah ini hasil negosiasi khusus?
Ketiga, di tengah era transparansi dan demokratisasi seperti sekarang ini, selayaknya Menkeu membuka peluang yang sama bagi semua bank/lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia. Karena dengan melakukan pembatasan/proteksi, telah menimbulkan persaingan tidak sehat diantara para pelaku pasar.
Hal itu, juga telah menutup akal sehat pemilik dana yang sejatinya adalah dana swasta. Dengan kata lain, pemerintah telah membelenggu rasionalitas dana swasta yang secara natural akan mengalir ke tempat yang menguntungkan.
Keempat, Menkeu telah mengabaikan hasrat/kebebasan pemilik dana untuk mendapatkan partner perbankan/lembaga non bank yang cocok dari sisi karakter, kekhususan investasi, serta return yang dia harapkan. Kelima, privelege kepada lembaga keuangan terpilih akan melenakan lembaga keuangan terkait. Disini telah terjadi persaingan yang tidak seimbang (non aple to aple).
Disatu sisi, lembaga keuangan terpilih dengan mudah mendapatkan dana segar dan di lock-up selama 3 tahun, sementara di sisi lain sejumlah bank harus bekerja keras mendapatkan dana pihak ketiga. Padahal, publik bisa melihat; diluar lembaga keuangan terpilih, ada banyak yang memiliki kompetensi hebat. Mereka memiliki jaringan, serta reputasi dan permodalan yang lebih besar.
Di jaman globalisasi ini, sepatutnya pemerintah (Menkeu) tidak memberikan proteksi khusus kepada pihak tertentu. Pemerintah cukup memberikan panduan atau batasan/ketentuan persyaratan lembaga keuangan yang layak menerima dana repatriasi. Pemerintah perlu merevisi berbagai peraturan yg terkait dgn keamanan dan kenyamanan dana-dana masyarakat yg dikelola oleh perbankan maupun yang dikelola oleh lembaga keuangan psr modal.
Tidak kalah pentingnya pengawasan ketat terhadap 37 lembaga penerima dana TA agar fraud seperti yang terjadi dimasa lalu tidak terulang lagi. Selanjutnya, biarkan mereka bersaing dengan fair. Biarkan pula pemilik dana menentukan lembaga keuangan yang seuai dengan harapan dan karakternya. Persaingan yang fair, akan memunculkan kepiawaian pengelola (BUMN maupun swasta) untuk menemukan kreatifitas dan bertahan dalam persaingan global yang kian ketat.
Keenam, patut dicermati pula masalah jaminan kenyamanan dan keamanan dana. Selain ketentuan lock up selama 3 tahun, sebaiknya juga ditata ulang soal jaminan. Sebagaimana diketahui, dana simpanan yang mendapat jaminan adalah maksimal Rp. 2 miliar. Lantas, bagaimana pemerintah memberi jaminan pada ratusan atau bahkan ribuan triliun rupiah yang akan masuk? Apakah mungkin, pemilik dana rela menempatkan dananya tanpa ada jaminan yang memadai. Kemungkinan Perang Bunga?
Ancaman yang tidak kalah serius adalah masalah kemampuan 19 bank dan 18 lembangan keuangan non bank tersebut menampung dan kemudian menyalurkan dana ke pihak ketiga. Apakah memungkinkan mereka menampung dana hingga ribuan triliun rupiah yang bakal masuk ke tanah air sebagaimana yang dibayangkan pemerintah?
Menilik catatan keuangan perbankan di Indonesia, kemampuan mereka menerima tambahan dana pihak ke-3 masing-masing bank masih terbatas. Sekelas BRI maupun Bank Mandiri pun hanya siap menampung antara Rp 50 triliun hingga Rp. 70 triliun. Adalah resiko perbankan, saat menerima dana pihak ketiga, mereka harus membiayainya atau membayar bunga.
Dengan banjir dana, karena mengejar denda pajak 2% dana akan mengalir secara bersamaan dalam 3 bulan pertama, bukan tidak mungkin mereka akan menurunkan bunga simpanan. Selanjutnya, akan terjadilah perang bunga yang akan sulit dikontrol oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bila ini terjadi, maka deposan yang dirugikan. Dunia perbankan pun akan rugi. Pada gilirannya, bukan tidak mungkin akan mengurangi hasrat pemilik dana menempatkan dananya di bank terkait. Patut pula diketahui di banyak praktek perbankan, bahwa kecepatan perbankan untuk menerima dana dan menyalurkannya, selalu tidak seimbang.
Terlebih disaat banjir dana tax amnesty, penulis meyakini kecepatan dana masuk akan lebih tinggi dibanding kecepatan dalam penempatan dana. Ini setidaknya, karena prinsip kehati-hatian, penyaluran dana cenderung lebih lambat. Akibatnya, bank persepsi akan membayar biaya bunga ( cost of money ) yang besar.
Katakanlah Bank A menerima dana Rp. 50 triliun, dengan bunga 7%/tahun, maka tiap tahun dia akan membayar bunga sedikitnya Rp. 3,5 triliun. Bahaya lain yang mengintai adalah manakala bank persepsi atau pemilik/pengelola sekuritas tidak mampu menjaga kepercayaan pemilik dana.
Satu kali saja terjadi cidera, dampaknya akan sangat luar biasa. Hilang kepercayaan pada bank, hal pahit itu pernah dialami dunia perbankan di Indonesia di tahun 1998. Begitu deposan secara besar-besaran menarik dana (rush), kepercayaan terhadap perbankan pun runtuh. Maka, tak terbayangkan bagaimana dampaknya, manakala lembaga terkait gagal mengelola dana repatriasi Tax Amnesty 2016 ini.
Penulis masih optimis bahwa pemerintah menempatkan program TA dengan paradigma “building country through partnership” menjadi kunci sukses republik tercinta ini.
Sumber : gatra.com
Penulis : Erwin Situmorang
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar