RMOL. Menurut Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Darussalam, persoalan masih minimnya dana deklarasi dan repatriasi dari program amnesti pajak pada saat ini, dikarenakan sikap orang Indonesia yang masih wait and see.
“Kebanyakan karakteristik wajib pajak di Indonesia bertanya dulu (ke orang lain), sudah ikut belum? Sementara, pemenuhan kewajiban pajak merupakan hal yang harus dilakukan karena ada timing-nya,” terangnya dalam diskusi Tax Amnesty dan Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di Jakarta, kemarin.
Darussalam memprediksi, para wajib pajak mulai berdatangan ke kantor pajak pada penghujung periode pertama dengan biaya tebusan 2 persen untuk repatriasi dan 4 persen deklarasi. “Mereka akan berbondong-bondong di akhir periode, saya yakin mulai ramai pada September 2016. Dari sanalah kita bisa meramal dan prediksi seberapa besar penerimaan sampai akhir tahun,” kata Darussalam.
Berdasarkan situs Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pada Kamis (11/8), progres angka pelaporan pajak terkait tax amnesty ada 2.601 orang yang membuat surat pernyataan harta, dengan jumlah uang tebusan yang berasal dari deklarasi ataupun repatriasi harta mencapai Rp 16,66 triliun.
Data itu meliputi Rp 14 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1,91 triliun deklarasi luar negeri dan Rp 761 miliar repatriasi. Dari program tersebut, pemerintah sudah percaya diri menargetkan penerimaan sebesar Rp 165 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.
Hal lain yang masih menjadi penghalang minimnya dana tax amnesty, adalah soal belum terbukanya data nasabah kepada otoritas pajak. Dalam program Automatic Exchange of Information (AEOI) pada 2018, sudah ada 101 negara yang komitmen bertukar informasi seputar pajak secara otomatis.
Sementara di perbankan dalam negeri, pemberian data nasabah sebagai wajib pajak secara otomatis belum ada. Perdebatan konteks domestik yang terjadi adalah, apakah perbankan bisa tidak membuka data nasabahnya kepada otoritas pajak. Sementara Indonesia belum transparan jika menyoal data nasabah.
“Berbeda dengan sekarang, kalau sekarang kan by request. Jika AEOI berlaku, otomatis informasi soal data nasabah antar negara akan terbuka. Sehingga tidak ada lagi WP yang menyembunyikan uangnya di manapun. Sayangnya, ini masih dalam konteks internasional, di dalam negeri belum,” tuturnya.
Darussalam bilang, sebelum benar-benar terjadi transparansi pajak, maka suatu negara disarankan menerapkan tax amnesty. Karena kalau tidak, akan gaduh dan akan sedemikian banyak WP yang masuk bui. “Jadi sebenarnya tax amnesty itu transisi menuju transparansi,” terang Darussalam.
Di kesempatan yang sama, Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Defri Andri mengimbau, perbankan jangan hanya menjual produk, tapi jual harus melihat mana nasabah yang potensial, agar tertarik dengan program tax amnesty.
“Termasuk kompetitor di luar negeri. Kita nggak kalah soal keamanan. Nanti pasar akan meng-create sendiri produk-produknya. Saya yakin peraturan OJK soal manajemen risiko bisa mengakomodasi produk bank nantinya, meskipun setelah 1-3 tahun dana itu di-hold,” tuturnya.
Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, OJK yakin dengan sendirinya akan terdorong dengan adanya tax amnesty. “Kira-kira di kuartal III dan IV dana dari tax amnesty baru terlihat dan terserap dananya. Berharap di 2017 sudah terlihat lagi penerapannya di sektor riil,” ujarnya.
Sumber: RMOL
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan