Sudah lebih dari sebulan, program tax amnesty masih sepi peminat. Dana tebusan yang diterima negara masih sedikit, masih jauh dari target.
Kalau dicermati sedikit lagi, para pelapor harta datang dari kalangan berkantong tebal. Pelapor harta berkocek tipis masih sedikit. Bisa jadi karena selama ini mereka sudah taat pajak sehingga tidak perlu melapor. Kemungkinan lain, mereka tidak berminat mengikuti tax amnesty.
Sampai 31 Agustus 2016, perolehan uang tebusan hanya sebesar Rp 3,1 triliun atau 1,9% dari target uang tebusan sebesar Rp 165 triliun. Dari total uang tebusan yang telah masuk, sebanyak Rp 2,4 triliun atau sebesar 77,4% berasal dari wajib pajak pribadi non UKM alias individu kaya.
Adapun orang pribadi atau pengusaha kecil dan menengah hanya sebesar Rp 179 miliar atau hanya 6%. Sedangkan uang tebusan dari perusahaan non UKM atau perusahaan besar sebesar Rp 432 miliar atau sebesar 14%.
Tampak wajib pajak perorangan kaya benar-benar memanfaatkan program pengampunan missal ini. Mereka tampak antusias memanfaatkan pengampunan pajak karena hanya perlu membayar sepertiga (2%-10%) dari tarif normal PPh pribadi dan PPh perusahaan (5%-30%). Mereka inilah yang selama ini memerlukan pengampunan karena di masa lalu.
Porsi pembayaran uang tebusan ini mungkin hanya satu dari sekian contoh ketimpangan pajak di Indonesia. Contoh lain, bisa dilihat dari realisasi penerimaan pajak. Setiap tahun ini, porsi pembayaran PPh pribadi oleh karyawan justru lebih besar daripada PPh pribadi pengusaha atau pemilik perusahaan. Kontribusi pajak penghasilan (PPh) para pemilik usaha/ perusahaan tergolong sangat kecil.
Realisasi PPh pasal 21 yang dibayar oleh karyawan sampai akhir April 2016 mencapai Rp 35,9 triliun. Namun penerimaan pajak dari orang pribadi yang memiliki bisnis atau perusahaan, tercermin dari PPh Pasal 25 dan 29, hanya sebesar Rp 3 triliun. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai akhir tahun 2016, seperti realisasi tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun lalu, Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan oleh karyawan melalui PPh Pasal 21 mencapai Rp 114,5 triliun. Namun, pajak yang dibayarkan oleh orang pribadi yang memiliki bisnis atau perusahaan, diukur dari PPh Pasal 25 dan 29 orang pribadi, hanya sebesar Rp 8,3 triliun (Harian Kompas, 14/5).
Contoh lainnya ialah rencana pemerintah menurunkan tarif pajak pengahasilan (PPh) perusahaan dari saat ini 25% menjadi 17%. Revisi ini dilakukan melalui revisi UU Pajak Penghasilan. Perusahaan yang telah menikmati menikmati pengampunan pajak dengan tarif super murah ini akan kembali menikmati insentif berupa tarif yang rendah.
Tanpa persiapan yang matang, penuurunan tarif PPh perusahaan ini hanya akan menggerogoti penerimaan negara. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum penurunan tarif adalah perluasan basis pajak dan menata kembali formula tarif PPh agar lebih mengedepankan prinsip berbagi beban (sharing burden) antar masyarakat dan kelompok ekonomi.
Sebaiknya dilihat data dan pengalaman selama ini. Faktanya, meski tarif pajak turun, tax ratio belum tentu naik. Ini terjadi di Thailand dan beberapa negara lainnya. Pada 2011 dan 2012, meski tarif PPh badan turun dari 30% menjadi 23%, tax ratio Thailand justru turun dari 17,6% menjadi 16,5%. Masih ada waktu untuk menimbang lagi rencana penurunan tarif PPh agar ketimpangan pajak berkurang.
Penulis : Umar Idris
Sumber: kontan
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan