Singapura dan Amnesti Pajak

c571d-tax2bamnesti

BARU saja amnesti pajak mencapai titik balik positif dengan akselerasi uang tebusan lebih dari Rp22 triliun, kabar tak sedap kembali muncul. Seperti telah diduga sebelumnya, negeri jiran Singapura yang amat berkepentingan dengan program amnesti pajak melakukan segala siasat agar negara itu selamat.
Kini beredar kabar perbankan Singapura melaporkan para nasabah Indonesia yang akan berpartisipasi dalam amnesti pajak dengan melakukan repatriasi dana. Cukup pasti program amnesti pajak ini mengkhawatirkan keberlangsungan perekonomian mereka karena besarnya dana milik warga negara Indonesia yang disimpan di perbankan Singapura.
Lalu sejauh mana kebijakan yang diambil perbankan Singapura memengaruhi keberhasilan program amnesti pajak dan apa respons yang sebaiknya dilakukan Indonesia?

Duduk Perkara
Sebelum munculnya rumor laporan perbankan Singapura ke kepolisian terhadap warga negara Indonesia yang menyimpan dana di sana dan akan ikut program amnesti pajak, sudah beredar kabar bahwa perbankan Singapura juga menawarkan insentif berupa imbal hasil yang setara dengan 2% uang tebusan sebagai selisih kalau wajib pajak merepatriasi dana (tarif 2%) dengan wajib pajak yang hanya mendeklarasi harta di luar negeri (tarif 4%).
Meski ditampik sebagai kebijakan resmi pemerintah, agaknya praktik itu memang terjadi, dijalankan secara privat, dan menyasar para warga Indonesia tertentu. Hasilnya, repatriasi hingga saat ini masih seret, jauh di bawah realisasi deklarasi dalam negeri dan luar negeri. Kini pukulan kedua diarahkan lebih eksplisit dan menohok jantung persoalan.
Setelah sejak dua bulan lalu santer diinformasikan dari mulut ke mulut bahwa Singapura meningkatkan kontrol terhadap uang keluar, saat ini terbukti bahwa perbankan Singapura secara lebih ketat dan konsisten mengikuti prosedur Financial Action Task Force (FATF) dengan melaporkan setiap transaksi yang dilakukan warga negara Indonesia dalam rangka amnesti pajak sebagai terduga tindak pidana pencucian uang.
Meski langkah ini wajar dan dibenarkan sesuai ketentuan, tak dimungkiri ada yang ganjil dalam kebijakan ini. Pertama, Singapura berlindung di balik keikutsertaan mereka di FATF Financial Action Task Force untuk mempersulit proses repatriasi. Lebih dari itu, kebijakan ini jelas terbaca sebagai upaya menakut-nakuti pemilik dana agar mengurungkan niat merepatriasi dana dan sekadar mendeklarasi harta di luar negeri.
Gayung bersambut, Pemerintah Singapura melalui MAS mengklarifikasi mereka tidak mengeluarkan kebijakan resmi dan bersifat khusus terkait dengan program amnesti pajak yang dijalankan Indonesia. Bahkan, terkesan mulia, mereka justru mendorong warga negara Indonesia yang menyimpan harta di Singapura berpartisipasi dalam program ini.
Namun, ada hal subtil yang perlu didalami bahwa amnesti pajak mempunyai dua skema, yaitu deklarasi dan repatriasi. Tak cukup jelas apakah pemerintah Singapura mendukung repatriasi atau sekadar menyetujui deklarasi harta. Kedua, ada kegagalan Singapura memahami konteks persoalan sesungguhnya.
Jika tuduhannya ialah dugaan para wajib pajak Indonesia yang akan ikut amnesti pajak ini merupakan para terduga pelaku kejahatan pencucian uang dengan predicate crime adalah tindak pidana perpajakan, justru di sinilah letak kegagalan mereka memahami konsep amnesti pajak dan peraturan perpajakan Indonesia secara umum. Kalaupun mereka terduga tindak pidana, itu merupakan isu dan kewenangan otoritas penegak hukum Indonesia.
Justru UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak memberikan pengampunan berupa penghapusan pajak yang seharusnya terutang dan tidak dikenai sanksi administrasi dan pidana perpajakan. Formulasi UU juga cukup jelas bahwa tindak pidana selain perpajakan tetap dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan asalkan tidak menggunakan data amnesti.

Fokus ke Dalam
Indonesia tidak perlu berang dan terpancing untuk merespons terburu-buru dan kurang perhitungan. Pembacaan yang sabar dan teliti jelas menyimpulkan kebijakan ini merupakan ekspresi dari defense mechanism yang wajar ditempuh pihak yang terancam kepentingannya.
Tanpa perlu masuk ke detail perkara, Singapura selama ini jelas telah menerapkan standar ganda. Di satu sisi mereka sekarang ingin menerapkan standar tinggi atas dugaan pencucian uang, tetapi di sisi lain mereka tidak menerapkan hal ini saat menerima dana. Maka, ini saatnya kita melakukan autokritik dan evaluasi mendalam, mengapa amnesti pajak masih tersendat dan repatriasi seret.
Dalam merespons Singapura, kita perlu segera mendalami kelayakan dan dampak nyata dari kebijakan Singapura ini. Jika secara hukum posisi kebijakan mereka lemah, cukup pasti para wajib pajak Indonesia tidak perlu khawatir. Rendahnya minat repatriasi tentu juga dirangsang tipisnya selisih tarif antara repatriasi dan deklarasi luar negeri.
Untuk menutup lubang kelemahan itu, sudah saatnya pemerintah secara nyata menambah pemanis amnesti pajak: tujuan investasi yang jelas dan menarik, kepastian hukum, kemudahan investasi dan bisnis, kelonggaran ketentuan perpajakan di masa mendatang, dan komitmen kekuasan dan birokrasi sebagai pelayan publik yang baik. Mungkin ini saatnya kita tak perlu terlampau serius merespons tetangga yang sedang galau karena khawatir kehilangan pegangan hidup.

Sumber: LAMPOST

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar