Menguji Hasil Tax Amnesti

23

Para pengusaha, khususnya pengusaha besar, nampak sedang berpacu mengejar batas akhir tiga bulan pertama masa pengampunan pajak dengan tarif tebusan paling murah. Mereka mengaku butuh waktu untuk mengonsolidasikan aset dan kekayaan, sehingga baru bisa mengikuti program tax amnesty di hari-hari terakhir menjelang batas waktu periode pertama ini.

Selain persoalan internal dari sisi para wajib pajak, ada persoalan eksternal yang menghambat akselerasi tax amnesty. Pertama, kecepatan aparat Direktorat Jendral Pajak (DJP) melayani peserta peng ampunan pajak dinilai tak memadai. Selain persoalan teknis administratif, juga tingkat pemahaman pegawai DJP yang tak se ragam dianggap sebagai faktor penghambat.

Kedua, pelaksanaan tiga bulan pertama dinilai tak efektif, karena di bulan pertama dan kedua lebih banyak kegiatan sosialisasi. Masyarakat belum memahami betul apa itu tax amnesty, apa manfaatnya sekaligus bagaimana prosedur pelaksanaannya.

Mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, ada wacana untuk memundurkan periode pertama dengan tarif terendah tersebut. Misalnya, minta diundur hingga Desember tahun ini. Para pengusaha melalui asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, maupun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengajukan permohonan resmi, baik ke Dirjen Pajak, Menteri Keuangan, dan bahkan pada Presiden.

Dalam pertemuan antara Presiden dengan para ekonom dan pengusaha minggu lalu (22/9) di Istana, permintaan tersebut juga mengemuka. Dan nampaknya Presiden menangkap esensi persoalannya, sehingga sangat mungkin gayung bersambut. Masalahnya, bagaimana teknis pelaksaan pengunduran tersebut harus dilakukan, tanpa harus melanggar undang-undang.

TITIK BALIK

Situs berita ekonomi terkemuka, Barron’s Asia, beberapa hari lalu merilis berita menggembirakan. Program pengampunan pajak di Indonesia disebut sebagai salah satu yang paling sukses di dunia. Padahal, di bulan pertama dan kedua masih pesimistis dan bahkan diprediksi akan menjadi salah program pengampunan pajak yang gagal.

Buktinya, di bulan ketiga sejak ditetapkanya UU Pengampunan Pajak ceritanya begitu berbeda. Antusiasme pada peserta pengampunan pajak terlihat dari perubahan angka tebusan yang bergerak dari menit ke menit.

Hingga 23 September lalu, total uang tebusan sudah mencapai kurang lebih Rp40 triliun dari target sebesar Rp 165 triliun. Sementara pernyataan harta mencapai sekitar Rp1.637 triliun, di mana sebesar kurang lebih 67% deklarasi aset dalam negeri dan sekitar 27% deklarasi aset bersih luar negeri. Sementara repatriasi aset sekitar 5% saja.

Ada beberapa catatan penting. Pertama, meski menjelang hari terakhir periode pertama pengampunan pajak nampak ada peningkatan uang tebusan, namun target Rp165 triliun sangat sulit dicapai. Target yang realistis adalah sekitar Rp60 triliun—Rp80 triliun. Jika target maksmimal bisa dicapai, sudah merupakan pencapaian penting. Dan, sejarah akan mencatat program pengampunan pajak di Indonesia sebagai salah satu yang berhasil.

Kedua, sebenarnya salah satu tujuan pokok program ini adalah mengundang kembali dana-dana Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri. Namun nampaknya program ini tak terlalu berhasil menarik dana asing. Sejauh ini, hanya 5% saja dari pernyataan harga yang berupa repatriasi. Proporsi paling besar memang deklarasi dalam negeri. Ada dua kemungkinan, yaitu dana yang “dicurigai” berada di dalam negeri sebenarnya sudah masuk ke domestik, atau terlalu banyak aset domestik yang tak terdaftar.

Belajar dari pengalaman banyak negara melakukan program tax amnesty, kunci yang sangat penting adalah tingkat kepercayaan para pemiliki modal kepada pemerintah dan situasi domestik perekonomian. Dan umumnya tak mudah menyakinkan para pemodal untuk membawa kembali asetnya yang sudah berada di luar negeri untuk kembali. Apapun alasannya, keputusan tersebut akan sangat berat mengingat risikonya tak mudah diprediksi.

Selain itu, tentu ada kendala psikologis tertentu. Peserta pengampunan pajak akan diketahui sebagai pelaku yang selama ini “menyembunyikan” hartanya. Dengan kata lain, mereka mengaku salah. Dan sikap ini tentu tak begitu saja mudah.

Terkait repatriasi, persoalannya jauh lebih kompleks. Termasuk sikap negara asal yang secara alamiah akan cenderung menghalangi. Fakta tersebut sudah muncul dengan berbagai sikap perbankan Singapura yang intinya menahan repatriasi modal ke Indonesia.

Meski di tengah berbagai kesulitan dari hal teknis, administratif hingga politis, suasananya cenderung positif. Meski dinilai tak akan mencapai target, tetapi tetap sebuah kemajuan yang menjanjikan.

JP Morgan memprediksi nilai pencapaian final pada akhir pelaksanaan program (akhir Maret 2017) akan mencapai pendapatan fiskal sekitar 0,3%—0,5% persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) kita. Atau sekitar Rp2.000 triliun, masih lebih rendah dari target pemerintah sebesar Rp4.000 triliun.

Harus diakui, hal tersebut terjadi karena pelaku usaha percaya pada Pemerintah Indonesia. Kembalinya Sri Mulyani Indrawati sedikit banyak mendorong sentimen tersebut. Di mata perlaku usaha, Menteri Keuangan Sri Mulyani dianggap paham dengan dinamika perpajakan di Indonesia. Dia dianggap berhasil ketika pada 2008 menurunkan pajak penghasilan sebesar 5%, menjadi 30%. Sementara itu, pajak perusahaan dari 30% menjadi 25%. Dan hasilnya, setahun kemudian penerimaan pajak meningkat sekitar 13%.

PENUNDAAN TENGGAT

Di tengah optimisme peserta tax amnesty, bagaimana sebaiknya pemerintah bersikap terhadap permintaan penundaan tenggat waktu termin pertama ini? Tentu saja jika pemerintah hendak mengubah skenario waktu, menjadi lebih panjang, harus mengubah undangundangnya.

Sebagaimana kita ketahui, dalam UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, diatur nilai tebusan sebesar 2% hanya untuk tiga bulan sejak ditetapkan. Setelah itu naik menjadi 3% pada tiga bulan kedua setelah disahkan.

Menanggapi permintaan para pelaku usaha agar periode pertama dengan tarif 2% diperpanjang hingga, katakan saja Desember 2016, maka harus diterbitkan pengganti UU. Perlukah pemerintah melakukan hal tersebut?

Skenario jalan tengah bisa ditempuh. Pertama, pemerintah tak perlu memperpanjang masa pembayaran uang tebusan, sehingga tak melanggar UU atau harus menerbitkan Perppu. Kedua, dari sisi administrasi bisa difasilitasi agar prosesnya bisa lebih cepat. Ketiga, para pelaku usaha mempercepat rekonsiliasi aset mereka serta mendaftarkan diri untuk mengikuti program ini sesuai tenggat waktu.

Keikutsertaan mereka pada periode pertama masa pengampunan pajak bisa dalam bentuk komitmen yang berlandaskan hukum. Namun, proses teknis, administrasinya bisa dilakukan setelah tenggat waktu selesai.

Tentu paling ideal adalah jika dengan penyederhaan administrasi serta fasilitasi dari pegawai DJP para pengusaha bisa menyelesaikan proses hingga final prosedur pengampunan pajak. Namun jika tidak terkejar karena berbagai kendala adminstratif, bisa dengan mengikat keikutsertaan melalui formalitas yang mengingat secara hukum.

Kita berharap agar dalam tiga bulan ini hasilnya maksmimal, dan pada masa berikutnya hingga berakhir para Maret 2017 peserta tax amnesty terus bertambah. Kepercayaan pada pemerintah harus dijaga momentumnya, sehingga hasil program pengampunan pajak bisa maksimal.

Sumber: BISNIS

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com

 



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar