RMOL. Desakan agar Pemerintah RI memaksa Google, Facebook, Yahoo, Twitter dan raksasa digital lainnya membayar pajak terus bergulir. Kali ini dalam bentuk petisi online.
Petisi diberi judul “Tidak Adil, Kita Bayar Pajak Tapi Google dkk Tidak, Kami Mendesak Google dkk Bayar Pajak”. Petisi dapat ditandatangani masyarakat secara langsung dengan terlebih dahulu.
Hariqo Wibawa Satria, Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) menjelaskan, sebelum membuat petisi komunikonten bersama para pegiat media sosial telah mengadakan dua kali diskusi serius, yakni pada Jumat, 22 April 2016 dan Kamis, 22 September 2016.
Komunikonten juga melakukan aksi penantanganan spanduk besar ukuran 7×6 meter pada Minggu,25 September 2016 di hari bebas kendaraan (Car Free Day) di Jakarta.
“Harusnya Google dan raksasa digital lainnya bayar pajak sebagaimana pengusaha media lainnya. Pegawai saja bayar pajak, kita makan dan ngopi saja saja bayar pajak, masak pengusaha atau pemilik Google tidak. Pemerintah kita sudah sangat baik dengan Google dan kawan-kawan,” jelas Hariqo Wibawa Satria seperti diberitakan (2/10).
“Coba lihat di Eropa, baru saja tanggal 24 Sept 2016 kemarin, Polisi Perancis menggerebek dan menyegel kantor Google di Paris, karena Google enggan bayar pajak. Pemerintah RI masih cukup sabar menghadapi Google dan kawan-kawannya,” sambung dia.
Ada empat poin penting dalam petisi. Pertama Pemerintah RI harus mampu memaksa Google, Facebook, Twitter, Yahoo dan raksasa digital lainnya membayar pajak seperti pengusaha-pengusa lainnya di Indonesia. Media lokal yang untungnya tidak sebesar Google saja membayar pajak, bahkan warteg pun sempat diwacanakan agar membayar pajak. Pajak merupakan hak bangsa dan kewajiban mereka. kita tidak boleh minder, bimbang, ragu karena kita adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
“Lihatlah Pemerintah Perancis, mereka dengan yakin menggerebek dan menyegel kantor Google di Paris pada 24 Sept 2016 lalu, karena raksasa internet ini enggan bayar pajak. Jika Pemerintah RI tegas dalam menegakkan keadilan pajak bagi seluruh pengusaha baik lokal dan asing, kecil maupun besar sehingga Indonesia berdaulat, tentu rakyat akan mendukung. Ketahuilah, di negara-negara yang menegakkan keadilan pajak bagi rakyatnya, “konflik” dengan Google dan OTT asing adalah hal biasa.”
Kedua, Pemerintah RI harus mewajibkan Google, Facebook, Yahoo, dan Twitter melakukan filter konten agar konten-konten yang tidak sesuai dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika segera mereka hapus.
Di negara manapun di bumi ini, katanya, syarat utama berbisnis adalah tidak merugikan kepentingan nasional sebuah negara. Karenanya, Pemerintah melalui Kominfo harus memfasilitasi filter konten negatif secara proaktif berbasis komunitas, seperti yang sudah dilakukan oleh Tim Siber Kwarnas Gerakan Pramuka, dan edukasi yang dilakukan Komunitas SEHATI dan komunitas-komunitas lainnya.
Pemerintah dalam poin petisi, juga disebutkan harus memiliki sejenis “emergency response team” yang akan menanggapi dengan cepat, ketika ada konten yang melanggar privasi warga, bahkan nilai-nilai bangsa, agar tim tersebut langsung bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan TNI, POLRI, BIN, BAIS, BNPT, Kejaksaan, PPNS, Pemuka Agama, Akademisi, Organiasi Keagamaan, Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Kepemudaan, Gerakan Pramuka, asosiasi-asosiasi untuk memaksa perusahaan penyedia konten digital dengan cepat menghapus konten tersebut.
Ketiga, Pemerintah RI utamanya Kemendikbud, Kemenag, dan Kemkominfo segera mewajibkan pendidikan literasi digital sejak usia dini. Banyak konten di internet, ada video, foto, poster, tulisan, komik, meme, animasi, dan lain-lain. Anak-anak harus bisa membuat konten positif sesuai minat dan bakatnya. Jadikan mereka generasi upload, bukan downloader.
Satu hal lagi, Term of use saat seseorang membuat sebuah akun media sosial harus diubah dalam format tanya jawab. Contoh pertanyaan misalnya ‘Apakah jika kami memberikan akun medsos ini kepada Anda, Anda siap tidak melakukan fitnah?’.
Kita harus segera menyiapkan perangkat hukum yang mampu melindungi data pribadi masyarakat, termasuk data-data yang terkait dengan ketahanan bangsa. Lihatlah bagaimana Pemerintah Amerika memaksa perusahaan internasionalnya yang memaksa vendor-vendor lokal kita untuk setuju dengan “rights to audit” ketika akan bekerja sama dengan perusahaan mereka. Lebih dalam lagi bisa kita lihat pada FCPA (Foreign Corrupt Practices act) yang bertujuan mencegah tindakan korupsi pada perusahaan Amerika di negara asing.
Keempat, Pemerintah harus terus memacu, memotivasi, dan menyediakan sarana bagi para anak bangsa, untuk menciptakan mesin pencari otomatis sendiri di dunia digital. Sebab, masyarakat dan pemerintah tidak boleh selamanya bergantung pada Google dan lain-lain. Bangsa ini sama sekali tidak anti Google, justru kita termotivasi harus punya mesin pencari seperti Google.
“Jika anak Amerika bisa bikin Google, anak Indonesia juga pasti bisa, itu pasti. Lihatlah Tiongkok yang memiliki mesin pencari sendiri Baidu (menguasai >50% pasar di Tiongkok), Rusia yang memiliki Yandex (menguasai >50% pasar di Rusia), Korea dengan Naver (menguasai >70% pasar di Korea) dan Daum (menguasai >20% pasar di Korea). Kapan giliran Indonesia menguasai pasar mesin pencari di Indonesia sendiri?” paparnya.
Sumber: RMOL
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak

Tok! Daftar 52 RUU Prolegnas Prioritas 2025, RUU Sisdiknas Masuk
PANDUAN LANGKAH DEMI LANGKAH DALAM MELAKUKAN PENGISIAN DAN PELAPORAN PPS – PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA
Slide Pengampunan Pajak 2022 – Slide Program Pengungkapan Sukarela – Slide Tax Amnesty Jilid 2
Tinggalkan komentar