Jakarta: Ihwal kemiskinan, Indonesia tengah diembus dua kabar sekaligus. Kabar baik, juga kabar yang tak begitu bagus. Baiknya, jika dibandingkan pengujung tahun lalu maka angka kemiskinan di Indonesia hari ini mengalami penurunan. Dari 28,51 juta jiwa masyarakat miskin pada September 2015 turun menjadi 28,01 juta jiwa sejak Maret 2016.
Sementara warta buruknya adalah angka sebesar itu tentu belum bisa membuat kondisi ekonomi di negeri ini boleh dikatakan semringah. Jika melihat keseluruhan data Badan Pusat Statistik (BPS), maka angka itu sejatinya tetap menunjukkan jumlah orang miskin di Indonesia bertambah. Sebab, pada akhir 2014 lalu jumlah orang miskin di Indonesia hanya tercatat 27,72 juta jiwa saja
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa penurunan angka kemiskinan di Indonesia saat ini mengalami pelambatan. Gejala itu, kata dia, sudah terasa sekurangnya dalam satu dekade terakhir.
“Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah dari sisi indikator kesenjangan yang diukur menggunakan koefisien Gini. Kita justru memburuk dari 0,3 menjadi 0,41. Kemudian baru agak membaik menjadi 0,40 pada 2016 ini,” kata Sri Mulyani dalam Prime Time News di Metro TV, Selasa (18/10/2016).
Koefisien Gini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. Melalui alat ukur yang dikembangkan Corrado Gini, ahli statistik Italia itu, maka akan tampak bahwa tren penurunan di Indonesia telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, dalam teori yang pertama kali dipublikasikan pada 1912 ini ditafsirkan bahwa angka 0 menunjukkan kesetaraan yang sempurna, sedangkan 1 memiliki makna sebaliknya alias ketimpangan sempurna.
Menurut perempuan yang akrab disapa Ani tersebut, fakta pelambatan ini hampir menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, di tengah laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi maka akan ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Hal ini belum lagi jika melihat pertimbangan setiap satu persen tingkat pertumbuhan ekonomi hanya akan mampu menciptakan peluang kerja di bawah 300.000.
Mengandalkan pajak
Sri Mulyani berpendapat bahwa pajak merupakan instrumen terpenting untuk mengumpulkan penerimaan negara. Pajak merupakan redistribusi dari masyarakat terkaya untuk memenuhi layanan dasar bagi masyarakat. Karena itu, dia meyakinkan ketaatan membayar pajak menjadi penting demi memuluskan niat pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan.
“Kalau satu persen masyarakat Indonesia yang menguasai 50% aset membayar pajak dengan benar, maka dia tidak hanya meredistribusikan kekayaan dari satu persen itu, tapi uang yang diperoleh bisa digunakan untuk investasi demi mengurangi kemiskinan,” kata dia.
Dia mengatakan bahwa dana dari pembayar pajak bisa dialokasikan untuk pembangunan kesehatan, pendidikan serta pembangunan lainnya yang akan membangkitkan kelompok kelas menengah yang sedang tumbuh. Kelompok kelas itu pun nisacaya akan mendapatkan dorongan daya beli yang juga bermanfaat bagi roda ekonomi. Tidak hanya itu, menurut Ani, pola ini juga akan membantu kelompok menengah atas yang kebanyakan berstatus pengusaha ketika menjual produknya kepada masyarakat.
Hal senada juga pernah diungkapkan Ani pada Supermentor 16 di Djakarta Theater XXI, Jakarta Pusat pada Senin, 17 Oktober lalu. Dia mengatakan bahwa untuk memutus tali dan lingkaran kemiskinan antargenerasi maka setiap keluarga miskin harus mampu menikmati pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi yang notabenenya bukan infrastruktur seksi namun sangat penting.
“Uang yang diperoleh dari pajak bisa kita gunakan untuk investasi demi mengurangi kemiskinan,” kata dia.
Harapan pemerintah terhadap pajak ini rupanya bukan main-main. Pajak macet, Presiden Joko Widodo pun meluncurkan terobosan yang tak jauh dari soal itu. Amnesti pajak sebagai salah satu program fiskal unggulan baru pun digulirkan. Hanya saja, hingga pengujung Agustus 2016, program ini baru meraup Rp2,5 triliun dari target Rp165 triliun tebusan pajak.
Tersendatnya jalan ekonomi kerakyatan
Sektor pajak boleh diandalkan pemerintah dalam menerjunkan angka kemiskinan di Indonesia. Namun benarkah tak ada peluang lain dalam proses pengentasan kemiskinan yang juga mesti digenjot bersama?
Pemikir ekonomi Dawam Raharjo mengatakan sah-sah saja bila pemerintah menjadikan sektor pajak sebagai harapan baru dalam pengentasan kemiskinan. Namun kata dia, bukan hanya soal pengawasan terhadap dana yang diterima negara, koreksi terhadap pos alokasi pajak pun tak kalah penting.
“Pajak boleh diandalan. Dengan syarat uang yang diterima negara melulu ke soal infrastruktur. Namun juga diprioritaskan untuk sektor ekonomi kerakyatan,” kata Dawam saat dihubungi Metrotvnews.com, Rabu (19/10/2016).
Menurut peneliti senior di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut, faktor yang paling memengaruhi tingginya angka kemiskinan di Indonesia adalah kurangnya lapangan kerja. Hal itu, kata Dawam, bisa dilaksanakan dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Tapi sayangnya, kendala UMKM sangat tinggi,” ujar dia.
Rektor UP45 Yogyakarta (The University of Petroleum) ini memaparkan bahwa indikator keluahan dalam pengembangan UMKM di Indonesia sangat tinggi. Dia menyebutkan, indikator itu mencapai angka 81% di DKI Jakarta, 85% di Jawa Barat, 73% di Jawa Tengah, dan 71% di Provinsi Jawa Timur.
“Kendalanya, pertama adalah keluhan permodalan. Itu paling dominan. Kedua, pemasaran. Ketiga, ketersediaan bahan baku. Maka, kuncinya adalah pembangunan sekaligus pengembangan industri pertanian,” kata dia.
Sektor perbankan, kata Dawam, adalah pihak yang paling patut disorot dan bertanggung jawab dalam hal ini. Pasalnya, seiring pemerintah yang menggembar-gemborkan slogan ekonomi kerakyatan namun pada faktanya usaha kecil menengah masih mendapatkan kendala dalam meraih permodalan dari bank-bank yang ada.
“Perbankan masih sangat pelit dalam memberikan kredit permodalan untuk sektor pertanian dan industri mikro,” kata Dawam.
Pemerintah disarankan menjalin komunikasi lebih serius serta menekan perbankan untuk mempermudah pengucuran modal kepada sektor ekonomi kecil menengah. Menurut Dawam, selama ini semangat itu baru tampak di permukaan.
“Secara formal mungkin ada melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tapi keluhan untuk mendapat kredit tetap muncul pada dua hal. Pertama, agunan yang sangat sulit dijamin atau dimiliki usaha kecil. Kedua, prosedur yang berbelit-belit,” ujar dia.
Dawam membandingkan kondisi Indonesia dengan pola yang berlaku di negara-negara lain. Menurut dia, prinsip kemudahan berbisnis di Indonesia memiliki status terparah di antara negara-negara anggota ASEAN. Sementara jika diurutkan dengan seluruh negara di dunia, status prinsip kemudahan berbisnis di Indonesia terlempar di nomor urut 120.
“Sementara Malaysia dan Thailand saja ada di posisi 18, jauh sekali,” ujar Dawam.
Prinsip kemudahan bisnis, terutama bagi kalangan ekonomi kecil ini diukur berdasarkan pada dua hal. Dawam menyebut pada soal kemudahan memeroleh kredit permodalan, serta prosedur perizinan yang mudah dan singkat.
“Jadi, pemberantasan kemiskinan di Indonesia cukup berat jika pemerintah tidak serius di sektor ini,” kata Dawam.
Meski begitu, menurut Dawam optimisme pemberantasan kemiskinan masih tetap ada. Dawam mengapresiasi gebrakan Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan pemungutan liar (pungli) diberbagai lini dan instansi.
“Itu bagus, namun sekali lagi, pelambatan ini merupakan peringatan. Kuncinya adalah menciptakan lapangan kerja baru,” kata Dawam.
Sumber : metrotvnews.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan