
Rencana tax amnesty jilid II muncul karena pemerintah dianggap tidak mampu untuk mengejar para pengemplang pajak yang dicurigai adalah orang-orang ‘kuat’ di negara ini.
Demikianlah diungkapkan Ekonom Senior Faisal Basri dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (24/5/2021)
“Ini karena pemerintah takut memburu pembayar pajak yang nakal. Jadi kan harusnya pemerintah menegakkan aturan, memburu pembayar pajak yang tidak benar dan tidak ikut tax amnesty, kenakan denda 100- 200%,” ujarnya.
“Tapi sangat boleh jadi orang-orang itu orang-orang kuat. Nah oleh karena itu diberikan jalan,” tegas Faisal.
Faisal menuding orang-orang tersebut berada dalam lingkaran terdekat Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa jadi politikus maupun pengusaha. Sehingga sulit bagi petugas pajak untuk mengejar hak dari negara.
“Orang kuat itu ada di dalam pusaran terdalam politik. mereka dekat dengan inti kekuasaan, dan mereka punya pengaruh politik yang besar,” terangnya. Faisal tidak menyebutkan secara spesifik orang yang dimaksud.
Faisal juga beranggapan bahwa kebijakan tersebut belum disetujui oleh kabinet. Meskipun tax amnesty menjadi pembahasan dalam revisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), di mana surat presiden sudah diberikan kepada DPR.
Diketahui rencana tax amnesty muncul dari mulut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Hingga sekarang jajaran kabinet yang lain, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku pelaksana kebijakan masih belum berbicara.
Pro dan kontra juga terjadi di lingkungan parlemen. Anggota dari fraksi Golkar mendukung, sementara fraksi PDI Perjuangan justru keras memberikan penolakan. Fraksi lain tampaknya tidak memberikan pandangan sejauh ini.
“Ini juga tampaknya tidak semua disepakati oleh jajaran pemerintah kelihatannya. Kalau di media yang banyak bicara ini Menko Perekonomian, Kadin, dan anggota DPR dari Golkar. Jadi anasir-anasir orde baru lah,” ungkapnya.
Faisal Basri Sebut Ada ‘Orang Kuat’ di Balik Tax Amnesty II

Faisal Basri juga menilai tax amnesty jilid II hanya menciptakan moral hazard.
“Saya setuju tax amnesty ini menciptakan moral hazard. Artinya, ya sudahlah saya nyolong pajak terus, nanti 5 tahun lagi ada tax amnesty lagi. Jadi menurut saya sangat buruk,” terangnya.
Tax amnesty sudah pernah dilangsungkan pada 2016 lalu selama 9 bulan. Hasilnya deklarasi harta mencapai Rp 4.800 triliun, repatriasi Rp 146 triliun dan uang tebusan Rp 130 triliun.
Faisal menilai wajib pajak bermasalah sudah diberikan kesempatan. Seharusnya ini saatnya petugas pajak untuk mendapatkan hasilnya.
“Jadi ini sebetulnya mereka sudah diberikan kesempatan waktu tax amnesty 2016-2017. Mereka tidak mengikutinya atau mereka mendeklarasikan hartanya tidak sebenarnya. Sekarang pemerintah saatnya memburu mereka,” jelasnya.
“Sudah diberikan kesempatan, diburu lah. Mereka ketar ketir dan sebagian menyesal tidak ikut tax amnesty,” tegas Faisal.
Data yang diperoleh ketika program tax amnesty ternyata tidak berdampak banyak. Rasio pajak terus turun sampai ke level 8,3% pada tahun lalu. Penurunan ini menandakan tingkat kepatuan wajib pajak di Indonesia masih sangat rendah.
“Jadi sebetulnya tax amnesty 2016-2017 gagal menciptakan basis pajak yang berkelanjutannya. Hanya sekali saja naiknya. Sudah gitu turun terus. Jadi ndak betul kalau dari data,” ujarnya.
Sumber: cnbcindonesia
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan