
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kini sedang merencanakan penerapan kebijakan tax amnesty alias pengampunan pajak jilid II. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pada tax amnesty jilid II ini yang ingin difokuskan pemerintah dalam rencana tax amnesty jilid II adalah kepatuhan para wajib pajak atau WP.
Namun kebijakan ini mendapat kritik dari Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Menurutnya kebijakan itu justru berdampak buruk bagi perekonomian.
“Tax amnesty menimbulkan dampak yang negatif terhadap ekonomi jadi sebaiknya dicari solusi untuk naikkan penerimaan negara selain tax amnesty jilid ke II,” kata Bhima kepada IDN Times, Jumat (28/5/2021).
Ada sejumlah alasan kenapa tax amnesty jilid II bisa berdampak negatif pada perekonomian Indonesia. Berikut ulasannya!
1. Kepercayaan pembayar pajak bisa turun
Menurut Bhima kepercayaan pembayar pajak bisa turun karena tax amnesty harusnya diberikan sekali sesuai janji pemerintah pada 2016. Setelah periode tax amnesty selesai, maka selanjutnya penegakan aturan perpajakan.
“Dengan adanya tax amnesty jilid ke II, psikologi pembayar pajak pastinya akan menunggu tax amnesty jilid berikutnya. Ya buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara,” ucap Bhima.
2. Tax amnesty tak meningkatkan penerimaan pajak
Alasan kedua, lanjut Bhima, kebijakan tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Hal itu terbukti periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen.
“Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” ujarnya.
3. Tax amnesty rawan digunakan untuk pencucian uang
Pengampunan pajak ini juga disebut Bhima bakal rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Atas nama pengampunan pajak, perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia.
“Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi COVID-19,” tuturnya.
4. Tax amnesty menciptakan ketimpangan sosial
Tax amnesty ini juga bisa menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Bhima menuturkan, selama pandemik COVID-19 berlangsung, sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi, seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen secara bertahap hingga 2022, sampai diskon PPnbm untuk mobil. Sementara bagi masyarakat umum mau dinaikan pajak PPN-nya.
“Jadi kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan pasca COVID-19. Perlu dicatat rasio gini mulai menanjak ke 0,385 per 2020 dengan kelompok 20 persen teratas atau orang kaya porsi pengeluarannya justru naik ke 46,2 persen dari posisi 45,3 persen dalam periode setahun lalu,” imbuh dia.
5. Pemerintah harusnya fokus kejar wajib pajak yang tak ikut tax amnesty jilid I
Bhima menyarankan pemerintah seharusnya melakukan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Terlebih dengan sudah ada lengkap data tax amnesty jilid I, data Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers.
“Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal,” katanya.
Sumber: idntimes
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan