‘Tax Amnesty’ Jilid II

Realisasi amnesti pajak di Indonesia

Desakan agar pemerintah kembali memberikan fasilitas pengampunan pajak (tax amnesty) kembali mencuat. Berbagai kalangan menganggap tax amnesty yang pernah diberlakukan pada 2016-2017 perlu digulirkan lagi pada 2022 demi mendongkrak penerimaan pajak yang anjlok akibat pandemi Covid-19.

Harus diakui, pemberian fasilitas tax amnesty adalah langkah yang paling cepat, mudah, murah, dan rasional untuk meningkatkan penerimaan pajak. Cara-cara yang cepat, mudah, dan murah sangat diperlukan karena pada 2023, defisit APBN tak boleh lagi melampaui 3% terhadap produk domstik bruto (PDB).

Bukan pekerjaan mudah memang untuk mengejar defisit APBN maksimal 3% PDB pada 2023. Pada 2020 dan 2021, defisit APBN mencapai Rp 1.039,2 triliun (6,34% PDB) dan Rp 1.006,4 triliun (5,70% PDB) akibat besarya anggaran untuk penanganan Covid dan pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah butuh penurunan defisit secara bertahap pada 2022 agar APBN bisa ‘mendarat secara lembut’ (soft landing) sehingga dapat terkelola dengan baik (manageable).

Covid-19 yang merebak di Tanah Air sejak awal Maret 2020 benar-benar menguras APBN. Tahun lalu, khusus untuk membiayai program Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) saja, pemerintah menghabiskan Rp 579,8 triliun. Tahun ini, anggaran PC-PEN mencapai Rp 699,43 triliun. Angka itu bisa naik lagi jika pandemi tak kunjung reda.

Anggaran PC-PEN mustahil bisa dipenuhi jika defisit APBN tetap dipatok maksimal 3% terhadap PDB. Maka pemerintah diberi kewenangan memperlebar defisit APBN di atas 3% PDB. Kewenangan itu diatur UU No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UU.

Masalahnya, defisit APBN yang terus membesar menyebabkan utang pemerintah makin bengkak. Per akhir Maret 2021, utang pemerintah mencapai Rp 6.445,07 triliun, setara 41,64% terhadap PDB. Dari jumlah itu, 66,90% di antaranya dalam bentuk surat berharga negara (SBN) yang umumnya diterbitkan dengan bunga tinggi agar diserap pasar. Pada 2020, pembiayaan utang tembus Rp 1.226,8 triliun, melonjak 180,4% dibandingkan posisi 2019.

Jika tak segera disetop, utang pemerintah bakal terus membengkak. Defisit semakin menganga. APBN bisa tidak manageable, bahkan kurang kredibel. Kesinambungan APBN dapat terganggu. Belum lagi bahaya-bahaya lain yang mengancam. SBN, jika terus diterbitkan, bisa menguras APBN karena pemerintah harus membayar bunga yang tinggi.

SBN juga bisa menimbulkan crowding out effect. Investasi yang seharusnya masuk sektor riil untuk menggerakkan perekonomian malah tersedot pemerintah. Bank-bank lebih memilih berinvestasi di SBN dibanding menyalurkan dananya sebagai kredit. Dengan acuan bunga SBN yang tinggi, suku bunga kredit sulit turun. Penggalangan dana (fundraising) di pasar modal melalui emisi obligasi korporasi terhambat karena perusahaan penerbit (issuer) harus memberikan kupon tinggi. Ekonomi menjadi mahal.

Agar defisit APBN tidak terus membengkak dan utang tidak terus menggelembung, langkah paling taktis yang bisa ditempuh pemerintah adalah meningkatkan penerimaan pajak. Supaya kenaikan target pajak tidak terlalu membebani masyarakat, memberlakukan tax amnesty jilid II merupakan pilihan yang paling rasional.

Sampai titik ini, kita bisa memaklumi jika banyak pihak yang menghendaki agar tax amnesty kembali diberlakukan. Namun, menghitung untung rugi tax amnesty tidak sesederhana itu. Masih banyak hal yang harus dipahami secara jernih , bijak, dan menyeluruh untuk memastikan apakah tax amnesty jilid II layak diberikan atau tidak.

Untuk mengukur kelayakan tax amnesty jilid II tentu kita harus berkaca pada tax amnesty jilid I yang digulirkan pada 2016-2017 kepada 972.530 wajib pajak (WP) lewat UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Selama tax amnesty diberikan, deklarasi harta mencapai Rp 4.707 triliun dari target Rp 4.000 triliun, atau terealisasi 117,67%, meliputi harta luar negeri Rp 1.031 triliun dan harta dalam negeri Rp 3.676 triliun. Sedangkan realisasi penarikan dana luar negeri (repatriasi) mencapai Rp 147 triliun atau 14,7% dari target Rp 1.000 triliun.

Dari data deklarasi dan repatriasi bisa disimpulkan bahwa tax amnesty jilid I lebih berhasil bagi peserta di dalam negeri dibanding luar negeri. Fakta ini sedikit mengusik kita mengingat pada masa sosialisasi, pemerintah menyatakan bahwa tax amnesty ditujukan terutama untuk menarik dana-dana miliki WNI yang diparkir di luar negeri, yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah.

Untuk mengukur kelayakan tax amnesty jilid II, kita juga mesti menalaah berbagai dampak yang mungkin timbul jika tax amnesty kembali diberikan. Masih segar dalam ingatan bahwa tax amnesty hanya akan diberikan satu kali dalam satu generasi. Artinya, jika tax amnesty jilid II diberikan, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa tax amnesty adalah jalan terbaik bagi bangsa ini.

Tak kalah penting, pemerintah harus menjamin kepatuhan pajak dan kepercayaan para WP tak akan luntur setelah tax amnesty jilid II diberikan. Kenapa? Karena, pertama, para WP yang selama ini taat pajak akan merasa ‘tidak nyaman’ saat WP tidak patuh diberi fasilitas pajak. Kedua, pemberian tax amnesty yang terlalu sering bisa mendorong masyarakat tidak patuh pajak. Mereka akan berpikir tak perlu patuh saat ini karena nanti ada tax amnesty jilid II, jilid III, dan selanjutnya.

Berpegang pada hal-hal tersebut, kita berpandangan bahwa tax amnesty jilid II bisa diterapkan setelah pemerintah melakukan kajian menyeluruh tentang manfaat tax amnesty jilid II, baik bagi negara, WP, maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Jika hasil kajian menunjukkan lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudarat, tax amnesty jilid II layak diberikan.

Kita juga meminta pemerintah mengevaluasi tax amnesty jilid I secara komprehensif. Misalnya bagaimana kepatuhan para WP peserta tax amnesty jilid I setelah mereka menikmati fasilitas tersebut. Juga tindak lanjut terhadap WP ‘nakal’ yang tidak mau memanfaatkan fasilitas tax amnesty. Bukankah dulu mereka diancam hukuman denda berlipat ganda, bahkan pidana, jika tidak melaporkan, apalagi sampai menyembunyikan data kekayaannya?

Pemerintah pun mesti memastikan apakah setelah tax amnesty diberikan,realisasi penerimaan pajak meningkat pada tahun-tahun setelahnya. Ini penting karena pemerintah dulu berargumen bahwa salah satu tujuan tax amnesty adalah ‘memotret’ basis pajak secara menyeluruh di Tanah Air. Dari potret itu, pemerintah bisa meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka menengah dan panjang.

Kita sepakat bahwa tax amnesty jilid II bisa menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak, bahkan menjadi bagian dari reformasi perpajakan. Pemerintah bisa memasukkannya dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang segera dibahas dengan DPR.

Tetapi kita juga sependapat bahwa pemerintah tak boleh gegabah. Jangan sampai tujuan utama tax amnesty menjadi kabur, samar, dan terdistorsi. Jika tax amnesty hanya akan mendatangkan kemudaratan, lebih baik pemerintah mengubur dalam-dalam rencana tersebut.

Sumber: investor.id

http://www.pengampunanpajak.com



Kategori:Artikel

Tag:, , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: