
Wacana pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II mulai tersirat. Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani lewat bahan paparan rapat kerja dengan Komisi XI DPR mengungkapkan ada dua opsi yang ditawarkan atas pelaksanaan tax amnesty jilid II.
Kendati demikian, pelaksanaan tax amnesty jilid II tersebut menimbulkan pro kontra oleh berbagai kalangan. Bahkan beberapa ekonom menilai pemerintah telah kehilangan kredibilitas.
“Apalagi jika mengingat semangat dari tax amnesty saat itu, yaitu pemerintah memberikan pengampunan pajak di periode tertentu, dan disampaikan bahwa WP harus mengikuti program ini, karena setelah itu tidak ada ampunan lagi,” ungkap Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet kepada CNBC Indonesia, Rabu (2/6/2021).
“Pemerintah seharusnya konsisten dengan apa yang disampaikan pada program pengampunan pajak jilid pertama lalu, ketika itu pemerintah meyakinkan dan bahkan mengirimkan email ke masing-masing WP untuk memanfaatkan program Tax Amnesty,” jelasnya.
Yusuf menyadari pelaksanaan tax amnesty pada 2016 lalu tidak sesuai harapan dengan realisasi dari deklarasi harta luar negeri kecil. Laporan The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan Panama Papers juga menunjukkan masih banyak orang RI yang menaruh dana di negara surga pajak.
Namun bukan berarti solusinya adalah mengulang tax amnesty. Apalagi pemerintah dalam melakukan investigasi pajak, sebenarnya bisa diakomodir melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) dimana DJP bisa mengakses beragam data ke negara lain untuk kepentingan pemeriksaan perpajakan.
“Jadi ketika wacana pengampunan pajak di jilid II muncul tentu terkesan pemerintah inkonsisten terkait apa yang disampaikan beberapa tahun silam,” terang Yusuf.
Hal yang senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono. Meskipun dia memaklumi posisi pemerintah dalam kondisi sulit untuk menyehatkan kembali APBN.
“Kalau ternyata pemerintah terapkan tax amnesty jilid 2, emang pemerintah ingkar janji. Tapi kondisi keuangan masih belum membaik karen tren defisit anggaran mendekati target 5,7% dari PDB, penerimaan pajak seret, utang SBN terus nambah,” ungkap Prianto.
Sementara instrumen untuk meningkatkan penerimaan pajak masih sangat terbatas. “Kalau skema pajak yang ada saat ini belum punya taji, harus cari sumber pendanaan lainnya selain dari utang. Cara yang paling realistis adl naikkan tarif pajak dan/atau buat pajak baru. Misalnya pajak karbon dan pajak transaksi elektronik,” pungkasnya.
Sumber: cnbcindonesia
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan