
Buntut dari krisis akibat pandemi Covid-19 adalah defisit anggaran yang melebar. Ibarat pepatah besar pasak daripada tiang, penerimaan negara dari pajak yang dominan mengalami shortfall sementara belanjanya dalam upaya penyelamatan ekonomi bengkak.
Sebagai negara berkembang non-reserves currency, Indonesia tak bisa membiarkan defisit APBN melebar dalam waktu yang lama. Kondisi 2020 adalah pengecualian karena masuk dalam kategori force majeure.
Defisit yang sebelumnya dijaga di bawah 3% pendapatan nasional diperlonggar. Penerimaan negara hanya mencapai Rp 1.633,6 triliun sementara belanjanya mencapai Rp 2.590 triliun. Ada defisit mencapai Rp 956 triliun atau setara dengan 6,1% PDB di tahun lalu.
Tahun ini APBN tak banyak berubah secara nominal. Hanya fokus alokasi anggarannya yang bergeser. Defisit fiskal juga tetap di atas ambang 3% PDB, dipatok di 5,7% PDB. Namun pada 2023, pemerintah harus mengembalikan tingkat defisit ke bawah 3% dari output perekonomian nasional.
Pembiayaan anggaran lewat utang bukanlah tindakan yang prudent. Konsolidasi fiskal harus dilakukan. Untuk ke sana pemerintah sudah menyediakan ramuannya lewat revisi Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Belum lama ini ada berbagai wacana terkait kebijakan perpajakan yang digaungkan. Dua yang paling disorot adalah peningkatan tarif pajak terutama untuk PPN dan yang tak kalah populer adalah wacana pengampunan pajak (tax amnesty).
Seperti biasa pro-kontra terjadi di sana sini. Namun kalau dicermati dengan seksama kebijakan tersebut cenderung lucu karena yang miskin dan ‘mungkin’ patuh dipajaki sementara para ‘pengemplang’ diampuni. Jadi pertanyaan terbesarnya saat ini adalah kepada siapa sebenarnya pemerintah berpihak?
Deo Damiani seorang peneliti di MUC Tax Research Institute sekaligus kolumnis di CNBC Indonesia menulis artikel yang menggelitik. Dalam artikel opini yang berjudul ‘Tax Amnesty : Kebablasan Obral Ampunan, Khianati Kepatuhan’, Deo menyoroti wacana tax amnesty.
Secara langsung penulis yang berprofesi sebagai konsultan transfer pricing itu mengkritik pemerintah atas wacana kebijakan tax amnesty pemerintah. Menurutnya kebijakan yang sempat ditetapkan beberapa tahun silam tersebut tak memberikan dampak seperti yang diinginkan.
Dalam sudut pandang pemerintah tax amnesty diharapkan mampu mendorong penerimaan negara lewat pajak, meningkatkan basis pajak dan menjadi momentum sistem reformasi perpajakan Indonesia.
Namun sayang jumlah penerimaan negara yang didapat dari program tersebut terbilang kecil. Dari total aset orang tajir Indonesia yang berada di luar negeri senilai Rp 1.000 triliun, yang masuk ke kas negara hanya 10% lebih sedikit atau tepatnya sebesar Rp 114,54 triliun.
Padahal harta kekayaan yang dilaporkan sebesar Rp 1.000 triliun tersebut kurang dari seperempat yang dilaporkan oleh OECD sebesar Rp 4.329 triliun.
Daripada memajaki kaum menengah ke bawah lewat peningkatan PPN dari 10% menjadi 12% yang diperkirakan oleh Bahana Sekuritas hanya akan menambah penerimaan negara sebesar Rp 60 – 80 triliun mending memajaki orang kaya yang hartanya sangat banyak itu.
Apalagi menurut Deo pemerintah Indonesia sejak tahun 2018 juga sudah bergabung dengan 108 negara dan 78 yurisdiksi lain untuk pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Ini bisa menjadi salah satu jalan pemerintah untuk mengungkap harta sesungguhnya para ‘sultan’ RI dan memajakinya. Hasilnya jelas akan lebih fantastis dari sekedar Rp 80 triliun dari peningkatan PPN atau Rp 100 triliun jika tax amnesty jilid II dilakukan.
Jika kembali berbicara tentang defisit, menurut Bahana Sekuritas untuk mengembalikan defisit anggaran menjadi 3% pemerintah perlu menurunkan defisit dari Rp 956 triliun ke Rp 543 triliun pada 2023.
Untuk sampai ke sana penerimaan dari pajak harus ditingkatkan sebesar Rp 353 triliun dan belanja harus dikurangi sekitar Rp 60,5 triliun dalam jangka waktu tiga tahun. Artinya peningkatan PPN yang akan lebih berdampak pada daya beli masyarakat miskin tetap tidak ada apa-apanya ketimbang memajaki orang-orang kaya yang hartanya bejibun.
Asumsikan 10-20% saja dari total harta kekayaan yang terlapor masuk ke kas negara sebagai upeti, maka akan ada tambahan anggaran setara dengan Rp 400 – Rp 800 triliun. Ini baru berasa.
Masak untuk makan dan mengenyam bangku pendidikan saja rakyat harus tertatih-tatih. Padahal dua hal tersebut menjadi kunci utama untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Well, tax amnesty yang kebablasan hanya akan menurunkan kredibilitas pemerintah karena secara psikologis dan moral mengkhianati yang patuh dan mengampuni pengemplang seperti yang disampaikan Deo dalam tulisannya.
Jadi sebagai pertanyaan pamungkas, apakah ini sebagai bentuk keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat Indonesia? Bukankah rakyat miskin menurut Undang Undang Dasar dipelihara oleh negara? Semoga jadi renungan bersama.
Sumber: cnbcindonesia
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan