JAKARTA, Indonesia – Sukses besar!
Itu pesan yang ingin disampaikan pemerintah pada Jumat, 30 September, hari terakhir periode pertama program amnesti pajak.
Realisasi pendapatan program amnesti pajak memang tercatat Rp97,1 triliun, atau 58,85 persen dari target, pada malam itu, sementara total nilai harta yang dilaporkan mencapai Rp3.516 triliun.
Dengan pencapaian tersebut, pemerintah optimis target Rp165 triliun bisa tercapai dalam 6 bulan ke depan sampai program berakhir pada 31 Maret 2017.
Bukan target yang mudah dicapai, tentunya. Apalagi, uang tebusan naik menjadi 3 persen pada 1 Oktober dan 5 persen pada 1 Januari 2017 untuk deklarasi dalam negeri dan repatriasi. Nilai tebusan untuk deklarasi luar negeri juga naik menjadi 6 persen pada 1 Oktober dan 10 persen pada 1 Januari 2017.
Waktu akan membuktikan apakah target sebesar Rp165 triliun itu realistis atau tidak. Yang jelas, pencapaian selama tiga bulan pertama mengundang beberapa pertanyaan.
Deklarasi harta
Satu hal yang menarik dari periode pertama adalah nilai harta dalam negeri yang dideklarasikan mencapai Rp2.444 triliun, atau 69,51 persen dari total Rp3.516 triliun.
Jelas ini suatu pencapaian besar yang membuat orang bertanya: Bagaimana mungkin Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan gagal memungut pajak dari harta senilai Rp2.444 triliun?
Sampai Rabu, 5 Oktober, nilai deklarasi harta dalam negeri sudah mencapai Rp2.597 triliun dan diperkirakan nilainya akan terus naik sampai 31 Maret 2017, hari terakhir program pengampunan pajak.
Apa yang salah dengan sistim dan pejabat pemungut pajak Indonesia?
Ketika pertanyaan ini diajukan ke Dirjen Pajak Ken Dwijugeasteadi, jawaban dia singkat “kerahasiaan bank” – seolah ingin mengatakan semua harta dalam negeri yang telah dideklarasikan adalah uang dalam sistim perbankan nasional.
Tetapi, menurut Riza Suarga, Wakil Ketua Umum Dewan Ekonomi Indonesia Timur, wajib pajak memang mempunyai kecenderungan untuk menghindari pajak (tax avoidance), sebuah realitas yang ada di hampir semua negera di dunia.
“Kalau boleh mereka tidak mau bayar pajak,” kata Riza kepada Rappler.
Kasus tax avoidance di Indonesia, kata Riza, cenderung tinggi karena korupsi dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak ke negara.
“Selama korupsi tinggi, selama penggunaan pajak belum jelas, dan selama masyarakat belum tahu manfaat membayar pajak, kepatuhan (membayar pajak) akan tetap rendah,” kata Riza, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan Lingkungan Hidup Kadin Indonesia,
Rasio pajak Indonesia saat ini hanya 11 persen dari 250 juta penduduk, atau 27 juta orang. Dari jumlah tersebut, diperkirakan “hanya sekitar 5 juta orang yang benar-benar membayar pajak,” kata Riza.
Sayangnya, publik tidak bisa mengetahui siapa pengemplang pajak yang ikut amnesti pajak dan harta apa saja yang mereka laporkan. Undang-undang Pengampunan Pajak memang mewajibkan pemerintah merahasiakan data wajib pajak yang berkaitan dengan harta yang dilaporkan dan melarang menggunakan data-data tersebut untuk menjerat sang wajib pajak.
Menurut praktisi perpajakan David Lesmana, merahasiakan data wajib pajak peserta amnesti pajak menutup kesempatan membongkar kemungkinan kongkalikong dalam pembelian aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pasca krisis 1998-1999.
Selama krisis finansial-ekonomi tahun 1998 dan 1999, banyak perusahaan nasional bangkrut. Aset mereka kemudian disita dan dilelang BPPN.
Menurut David, ada kemungkinan aset-aset itu dibeli kembali oleh pemilik pertama dengan harga murahmelalu nominee atau wali.
Program amnesti pajak, kata David, bisa menjadi kesempatan untuk mengalihkan kembali harta tersebut dari nominee ke pemilik sebenarnya.
“Ada klausal dalam perjanjian dengan BPPN yang mengatakan bahwa kalau di kemudian hari ditemukan bukti-bukti bahwa pembeli mempunyai hubungan dengan pemilik pertama, kedua-duanya akan dipidana,” kata David kepata Rappler.
Beberapa mantan pemimpin BPPN sempat diperiksa Kejaksaan Agung menyusul munculnya tuduhan mereka menjual murah aset BPPN.
Repatriasi harta
Salah satu tujuan utama program amnesti pajak adalah repatriasi harta orang Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Dalam rancangan undang-undang Pengampunan Pajak yang diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), misalya, klausal “deklarasi luar negeri” tidak ditemukan.
Tetapi sampai 30 September 2016, jumlah dana yang direpatriasi hanya mencapai Rp135 triliun – sebuah angka yang cukup besar, tetapi jauh lebih kecil dari nilai harta deklarasi luar negeri yang mencapai Rp937 triliun.
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan