Evaluasi Amnesti dari Kacamata Perilaku

Hasil gambar untuk amnesti pajak dan UMKMKendati telah berhasil mengumpulkan dana tebusan sebesar Rp 97,2 triliun atau sekitar 59% dari target Rp 165 triliun, Dirjen Pajak tak puas dengan torehan angka tersebut. Dari total 20,1 juta wajib pajak, hanya 2,09% saja yang berpartisipasi pada ronde pertama amnesti pajak yang berakhir 30 September lalu. Pertanyaanya kemudian, apa yang salah? Bagaimana agar hasil yang diperoleh pada periode berikut bisa lebih baik lagi?

Mayoritas tulisan yang beredar menyoroti kebijakan amnesti pajak dengan fokus hanya pada sisi ekonomika konvensional (mainstream economics). Dalam konteks ini, tax amnesty dipandang sebagai senjata pemerintah dari sisi fiskal untuk membantu defisit anggaran. Pengampuann pajak meniadakan atau memutihkan pajak yang terutang, baik yang tercatat atau yang tidak tercatat, berdasar pada aturan hukum yang berlaku, untuk meningkatkan jumlah wajib pajak dan nilai pajak yang belum tertagih pada periode sebelumnya.

Secara tidak langsung amnesti pajak juga berimplikasi pada terkumpulnya data dan informasi tentang wajib pajak dan kewajibannya sehingga dirasa mampu meningkatkan pengawasan terhadap upaya penghindaran dan penggelapan pajak.

Sayangnya, pendekatan konvensional tersebut masih menyisalkan berbagai pertanyaan yan gbelum terjawab, terutama tentang efektivitas amnesti pajak. Apalagi, bukti empiris dan anekdot yang ada selama ini menunjukkan bahwa program-program amnesti pajak di seantero dunia hanya memberikan keuntungkan sekadarnya dan tidak lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan program tersebut (Baer dan Le Borgne, 2008).

Di sisi lain, pembayar pajak adalah makhluk yang tidak selalu bersikap rasional seperti asumsi ekonom neoklasik (mainstream economics). Artikel ini menyoroti sisi ekonomika keperilakuan (behavioural economics) dari para aktor yang terlibat dalam kebijakan amnesti pajak untuk melengkapi diskusi dan analisis yang didominasi oleh literatur ekonomika tradisional (mainstream economics).

Model economics-of-crime (Allingham dan Sandmo, 1972) umumnya menjadi rujukan utama ekonom tradisional untuk menganalisis keputusan para pembayar pajak dalam menyembunyikan atau menyatakan nilai pajaknya. Model ini mengasumsikan pembayar pajak sebagai individu yang rasional dan berusaha untuk memaksimumkan ekspektasi utilitas yang dapat ia peroleh.

Namun, konsep ini memiliki sejumlah keterbatasan karena hanya berhenti pada kesimpulan standar: pembayar pajak fokus pada insentif yang ia peroleh dan hanya akan patuh bila risiko ketahuan atau mendapat hukuman lebih tinggi.

Mendorong Kepatuhan Pajak

Di satu sisi, pemerintah memang perlu menyeimbangkan agar keuntungan (berupa tambahan pendapatan) yang diperoleh dari amnesti pajak lebih tinggi daripada biaya dan risiko yang timbul (seperti gagalnya program, jatuhnya reputasi, atau turunnya elektabilitas pemerintah). Sayangnya, pemerintah tidak berada dalam posisi yang diuntungkan karena adanya tax gap berupa asimetri informasi antara nilai pajak yang dilaporkan (reported) dengan nilai pajak yang seharusnya dibayarkan (actual).

Karena tidaklah ekonomis untuk melakukan audit menyeluruh, maka pemeirntah hanya bisa meraba-raba dan mengandalkan itikad baik pembayar pajak dalam melaporkan kewajibannya. Pemerintah juga tidak boleh mengandalkan amnesti pajak untuk menambah anggaran.

Hal ini tak hanya memberi tekanan lebih besar bagi anggaran di masa depan, tetapi juga mengisyaratkan akan adanya kemungkinan amnesti lagi di masa depan yang dapat diantisipasi oleh pembayar pajak.

Setidaknay terdapat dua konsep yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kepatuhan pajak dan menyukseskan amnesti paajk dari sisi keperilakuan pembayar pajak- terutama di periode kedua nanti. Pertama, overweighting probabilities. Seorang individu, walaupun memiliki informasi komplit, cenderung untuk bertindak secara sistematik seolah-olah kemungkinan audit yang akan mereka hadapi jauh lebih tinggi dari kenyataannya. Apabila pembayar pajak memberi bobor subjektif lebih tinggi akan adanya kemungkinan audit daripada bobot objektifnya, maka kepatuhan terhadap amnesti akan lebih tinggi pula.

Kedua, social norm of compliance. Norma sosial menggambarkan pola perilaku yang dikategorikan sedemikan rupa oleh suatu kelompok sosial utnuk menentukan penerimaan (apprroval) maupun penolakan (disapproval). Dalam hal ini, seorang individu akan mematuhi aturan perpajakan dan amnesti selama ia percaya bahwa kepatuhan (compliance) tersebut adalah norma yang berlaku umum di lingkungan sosialny.

Seperti ditulis James Andreoni (1991), “no rational person would plan to accept the amnesty” (p146). Apabila upaya yang dilakukan selam ini belum membuahkan hasil maksimal, mengapa pemerintah tidak coba mempertimbangkan dan mengusahakan tindakan serta kebijakan dari sisi keperilakuan?

Pertama, pemerintah harus tegas menggarisbawahi adanya konsekuensi legal yang akan diambil setelah periode amnesti pajak berakhir untuk mendorong overweighting probabilities.

Kedua, pemerintah perlu mengidentifikasi aktor sentral (hub) dalam lingkaran sosial (clique) pengusaha-pengusaha besar dan strategis serta mendorong mereka untuk mengikuti amnesti pajak agar tercipta efek  social norm of compliance.

Tidak kalah pentingnya, karena amnesti pajak bersifat self-fulfiling- penerimaan pajak akan lebih rendah bila pembayar pajak mengantisipasi adanya amnesti di masa depan- maka, pemerintah harus berkomitmen (credible commitment) bahwa tidak akan ada amnesti lagi dalam waktu dekat.

Penulis: Nofie Iman

Sumber:Harian Kontan, 18-10-2016

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: