Memburu pajak berdasarkan profesi

Hasil gambar untuk 200 WP besar belum ikut amnesti

Menteri Keuangan mengungkapkan sembilan jenis profesi yang dinilai potensial untuk memperluas basis peserta pengampunan pajak (tax amnesty). Mereka adalah para notaris, dokter, konsultan pajak, pengacara, arsitek, akuntan, penilai, gubernur dan wakil gubernur serta komisaris dan direksi BUMN. Dari sekitar 46.000 yang terdaftar sebagai pemilik nomor induk kependudukan dan NPWP, tercatat hanya 16,8 % yang mengikuti program tersebut.

Undang-undang pajak membagi wajib pajak perorangan menjadi tiga. Pertama, wajib pajak yang tidak melakukan usaha atau pekerjaan bebas, yaitu karyawan, pegawai negeri sipil (PNS) atau anggota TNI/Polri . Kedua, mereka yang melakukan usaha dan kegiatan, misalnya para pengusaha/wiraswasta. Ketiga, wajib yang melakukan pekerjaan bebas, yaitu  pengacara, akuntan, konsultan, penilai, arsitek, notaris, dokter, aktuaris dan sebagainya.

Pengertian pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat suatu hubungan kerja. Penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari pengusaha dan pekerjaan bebas 10 tahun terakhir cukup stagnan. Pada 2006 kontribusinya mencapai Rp 1,8 triliun dan meningkat menjadi Rp 5,2 triliun pada 2015.

Bandingkan kontribusi wajib pajak perorangan yang berstatus karyawan sebesar Rp 31,6 triliun pada 2006 naik menjadi Rp 126,8 triliun pada 2015. Dengan demikian, konsep pay as you earn dengan mengandalkan sistem pemungutan withholding tax bagi karyawan jauh lebih efektif dibandingkan sistem self-assesment untuk menjaring pajak.

Hambatan

Sistem self-assesment berarti negara memberikan kepercayaan besar bagi wajib pajak untuk mendaftar, menghitung dan melaporkan kewajiban pajaknya. Untuk membuktikan kebenaran penghitungan pajaknya, wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan.

Pembukuan itu sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian. Hambatan terbesar adalah memaksa mereka disiplin mencatat seluruh aktivitas usaha layaknya seorang akuntan. Pengecualian diberikan bagi yang memiliki penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.

Kewajibannya hanya berupa pencatatan, yaitu pengumpulan data secara teratur atas penghasilan bruto. Selanjutnya, penghasilannya akan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Jika dalam pembukuan, wajib pajak harus menghitung penghasilan bruto dan biaya untuk memperoleh keuntungan (penghasilan neto), maka dalam pencatatan jauh lebih sederhana. Wajib pajak hanya menghitung penghasilan bruto, sedang standar biaya sudah ditentukan Direktur Jenderal Pajak.

Misalnya penghasilan jasa dokter di kota-kota besar dikenakan norma penghitungan sebesar 45%. Jika penghasilan satu tahun sebesar Rp 2 miliar, maka penghasilan nettonya sebesar Rp 900 juta. Setelah dikurangi penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 54 juta (diasumsikan belum menikah dan tidak memiliki tanggungan), maka pajak penghasilan yang harus dibayar Rp 198,8 juta. Ini berarti tarif pajak efektifnya adalah 10%. Ini termasuk rendah mengingat Indonesia menganut pajak progresif, semakin besar penghasilan akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi (maksimal 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta)
Asas keadilan

Tarif pajak efektif itu bisa lebih kecil jika penghasilan juga lebih kecil. Misalnya penghasilan dokter itu hanya Rp 1 miliar. Pajak penghasilan yang harus dibayar Rp 69,8 juta atau tarif pajak efektifnya hanya 7%. Sangat jauh berbeda dibanding dengan seorang karyawan berpenghasilan tinggi. Misalnya manajer suatu perusahaan penghasilan setahun Rp 1 miliar, maka pajak yang harus dibayar sebesar Rp 227 juta atau tarif pajak efektif lebih dari 20%.

Perbandingan di atas menunjukkan bahwa ketentuan pajak sudah sangat lunak untuk wajib pajak dengan profesi pekerja bebas. Kepatuhan wajib pajak di Indonesia memang masih rendah, terutama yang menjalankan sistem self assesment. Kepercayaan yang diberikan lebih dari 30 tahun belum mendapatkan hasil. Artinya, langkah Menteri Keuangan memburu pajak penghasilan berdasarkan profesi sudah tepat.

Sumber : Harian Kontan 28 Oktober 2016

Penulis : Benny Gunawan Ardiansyah

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: