Program amnesti pajak Indonesia diakui menjadi salah satu program pengampunan pajak yang tersukses di dunia. Ini dilihat dari sisi nominal yang berhasil dihimpun. Merujuk data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hingga 1 november 2016, uang tebusan yang masuk telah mencapai Rp 98 triliun atau sekitar 59,3% dari target pemerintah. Bukan tidak mungkin, target pemerintah ini akan tercapai, bahkan terlampaui, saat batas akhir kesempatan amnesti pajak.
Nilai harta yang tercermin dari total uang tebusan tersebut, berdasarkan Surat Penerimaan Harta (SPH), mencapai Rp 3.885 triliun. Perinciannya, deklarasi harta di dalam negeri Rp 2.760 triliun, deklarasi harta luar negeri Rp 982 triliun, dan repatriasi Rp 143 triliun.
Data tersebut membuka mata kita, betapa besar ekonomi yang selama ini tidak atau belum dihitung. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2015 mencapai Rp 11.540,8 triliun. Itu berarti, jika kita hitung, besar deklarasi harta di dalam negeri tadi setara dengan 23,91% PDB kita.
Bayangkan, jika di masa depan, harta yang tadinya tidak dilaporkan menjadi objek pajak yang rutin. Tentu, besar sekali potensi pendapatan baru yang diraup boleh pemerintah. Dan, bila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, tentu bisa menjadi modal pemerintah untuk mewujudkan program-program yang bermanfaat bagi rakyat. Kita mungkin bisa berharap, tidak akan ada lagi cerita tentang defisit anggaran.
Namun, untuk membuat hal tersebut bukan sekadar mimpi di siang bolong, ada pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan dengan sangat serius oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu membenahi administrasi pajak, misalnya sistem pembayaran pajak yang lebih mudah, tidak terkena pajak berganda, dan kemudahan ketika wajib pajak ingin mengklaim lebih bayar.
Persoalan administrasi pajak yang tak kalah penting adalah memperbanyak jumlah wajib pajak. Bila perlu, dengan mewajibkan setiap warga Negara memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan demikian, kekuatan ekonomi non-formal, seperti usaha mikro dan kecil, bisa diformalkan dan masuk ke dalam penghitungan PDB.
Kedua, pemerintah perlu memberikan insentif agar orang mau membayar pajak. Misalnya, dengan menurunkan tarif pajak. Ketiga, pemerintah perlu membersihkan lembaga Negara dari korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Penulis: Asih Kirana Wardani
Sumber: KONTAN
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan