Zaman Lagi Susah Begini, Sudah Saatnya Tax Amnesty?

FILE PHOTO: A woman holds Indonesian rupiah banknotes at a Bank Negara Indonesia (BNI) mobile bank in Jakarta July 15, 2013.   REUTERS/Beawiharta/File Photo

Wacana pengampunan pajak alias tax amnesty muncul lagi. Apakah tax amnesty memang sudah menjadi sebuah kebutuhan yang penting bin mendesak?

Beberapa waktu lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyampaikan kajian mengenai tax amnesty disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian nasional, termasuk dunia usaha. Apalagi sekarang dalam kondisi pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di mana dibutuhkan kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.

“Saya setuju soal tax (incentive), bagaimana kita bisa bicarakan cara pembayaran, keringanan. Apakah kita bikin lagi tax amnesty jilid II dan jilid III dan bentuknya seperti apa,” kata Suharso.

Indonesia belum lama menuntaskan program tax amnesty. Kebijakan ini mulai berlaku tidak lama setelah Sri Mulyani Indrawati kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang PS Brodjonegoro.

Kala itu tax amnesty dibagi menjadi tiga periode. Pertama adalah pada 28 Juni-30 September 2016, kedua 1 Oktober-31 Desember 2016, dan terakhir 1 Januari-31 Maret 2017.

Tax amnesty adalah pengampunan atas Pajak Penghasilan (PPh). Mungkin dalam beberapa tahun ke belakang Wajib Pajak khilaf (atau sengaja, entahlah) tidak membayarkan PPh sebagaimana mestinya, misalnya ada harta yang belum dilaporkan.

Dengan tax amnesty, Wajib Pajak tidak perlu membayar PPh terutang plus denda. Cukup membayar uang tebusan, masalah selesai. Kembali 0-0, bersih, clean sheet, segala ‘dosa’ pajak diampuni.

Fasilitas yang diberikan dalam tax amnesty 2016-2017 adalah:

  1. Penghapusan sanksi administratif.
  2. Penghapusan pemeriksaan pajak untuk penindakan dengan tujuan pidana.
  3. Penghapusan segala pajak terutang.
  4. Penghapusan PPh Final untuk pengalihan harga berupa saham, bangunan, atau tanah.
foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Secara garis besar, tax amnesty punya tiga tujuan utama. Pertama adalah memperluas basis pajak, merangkul mereka yang selama ini belum tersentuh oleh sistem perpajakan. Kedua adalah meningkatkan kepatuhan (compliance) Wajib Pajak sehingga ke depan diharapkan bakal menyetor pajak sesuai dengan kewajibannya, tidak ada lagi yang ditutupi. Ketiga tentu menambah setoran ke kas negara, menggenjot penerimaan, karena ada sumber duit baru yaitu uang tebusan.

Tax amnesty 2016-2017 berhasil menjaring 972.530 peserta. Total aset yang dideklarasikan mencapai Rp 4.881 triliun. Terdiri dari deklarasi domestik Rp 3.667,94 triliun, deklarasi luar negeri Rp 1.036,37 triiun, dan repatriasi Rp 146,69 triliun.

Sementara total penerimaan negara yang berhasil dikumpulkan adalah Rp 134,99 triliun. Terdiri dari uang tebusan Rp 114,23 trilun, pembayaran tunggakan 19,02 triliun, dan pembayaran Bukti Permulaan (Bukper) Rp 1,75 triliun.

Dibandingkan negara-negara lain, pelaksanaan tax amnesty di Tanah Air bisa dibilang sukses. Nilai harga yang dideklarasikan mencapai 39,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di atas negara-negara seperti India, Spanyol, atau Italia yang sebelumnya juga menerapkan tax amnesty.

Sedangkan uang tebusan Rp 14,23 triliun adalah setara degan 1,08% PDB saat itu. Lebih tinggi ketimbang program serupa di Jerman, Belgia, sampai Australia.

Rupiah

Ketika ekonomi seakan ‘mati suri’ akibat pandemi virus corona, pemerintah memang memberikan berbagai keringanan pajak. Mulai dari pembebasan PPh 21 untuk karyawan, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pembelian kendaraan bermotor, hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pembelian properti.

Tujuannya adalah untuk mengerek daya beli. Saat pendapatan masyarakat tergerus akibat pandemi, pemerintah memberi ‘perangsang’ dengan insentif pajak. Pembebasan PPh 21 akan membuat karyawan menerima gaji penuh tanpa potongan pajak sehingga bisa menaikkan daya beli. Tidak ditariknya PPnBM dan PPN akan membuat harga mobil dan rumah menjad lebih murah, yang lagi-lagi diharapkan merangsang konsumen untuk mengeluarkan uangnya.

Dalam kondisi krisis, rumah tangga dan dunia usaha tidak bisa menjadi tumpuan harapan pertumbuhan ekonomi. Adalah negara yang harus menjadi pemeran utama, mengambil posisi di tengah panggung sebagai agent of growth.

Konsekuensinya memang tidak enteng, sangat berat malah. Aktivitas ekonomi yang lesu tentu membuat penerimaan pajak ikut menciut sehingga modal untuk membiayai berbagai stimulus fiskal harus didatangkan dari utang.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melepas sementara ‘rem’ disiplin fiskal dengan menaikkan batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi boleh di atas 3% PDB, sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh Undang-undang (UU) Keuangan Negara.

Konsekuensi yang paling mencolok adalah pembengkakan utang pemerintah. Per akhir Januari 2021, total utang pemerintah mencapai Rp 6.223,14 trilun. Jumlah itu setara dengan 40,28% dari PDB.

Apa boleh buat, memang harus ada pengorbanan. Negara harus hadir memberikan stimulus fiskal agar ‘roda’ ekonomi bisa berputar. Walau itu harus dibayar dengan utang.

Praktik ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh negara. Pembengkakan utang pemerintah adalah fenomena global yang tidak bisa dihindari. Pemerintah wajib berkorban agar ekonomi bisa sehat kembali.

Bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menegaskan bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk mencemaskan utang. Sebab, yang paling penting adalah menyelamatkan rakyat dan perekonomian.

“Kekuatan fiskal sangat penting. Idealnya, Anda harus menghadapi tekanan seperti ini dengan postur fiskal yang kuat. Ini bukan saatnya untuk khawatir (soal defisit fiskal), karena yang terpenting adalah kita harus menang perang,” tegas Jerome ‘Jay’ Powell, Ketua The Fed, belum lama ini sebagaimana dikutip dari Reuters.

Rupiah

So, pada masa krisis yang paling penting adalah bagaimana memberikan stimulus fiskal. Situasi krisis membuat pemerintah harus bersikap seperti ibu, hanya memberi tak harap kembali.

Oleh karena itu, menjadi agak janggal ketika wacana tax amnesty muncul kala situasi sedang seperti sekarang. Sebab, intisari tax amnesty adalah mendongkrak penerimaan negara. Padahal saat ini yang terpenting adalah memberi, jangan beharap ada kembali.

Penerimaan negara memang penting, tetapi dalam kondisi serba susah sepertinya belum terlampau mendesak. Kebijakan perpajakan sebaiknya tetap fokus kepada memberi dorongan, bukan menambah pundi-pundi.

Lain cerita kalau ekonomi sudah mulai pulih, sudah mulai normal, sehingga pemerintah bisa mulai memikirkan soal normalisasi APBN. Saat itu terjadi, menambah penerimaan negara menjadi penting dan mendesak agar beban utang bisa dikurangi sedikit demi sedikit.

Jadi, tax amnesty mungkin bisa menjadi opsi kebijakan saat situasi sudah jauh lebih baik dari sekarang. Saat pemerintah perlu mengubah peran dari agent of growth menjadi agent of stability sehingga butuh tambahan setoran ke kas negara agar APBN lebih sehat dan berkelanjutan.

Kesimpulannya, tax amnesty? Ummm, sekarang mungkin belum dulu deh. Namun nanti siapa yang tahu…

Sumber: cnbcindonesia

http://www.pengampunanpajak.com



Kategori:Artikel

Tag:, , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: