
Sejumlah surat Presiden Jokowi dibacakan oleh DPR dalam rapat paripurna. Salah satunya Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Pimpinan Dewan telah menerima lima pucuk surat dari Presiden RI, yaitu satu R21 tanggal 25 Mei 2021 hal RUU atas perubahan kelima UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,” ujar Ketua DPR RI Puan Maharani saat rapat paripurna DPR RI, Selasa (22/6).
RUU KUP tersebut membahas sejumlah revisi aturan mengenai perpajakan. Tujuannya untuk mendorong penerimaan pajak dan mereformasi sistem perpajakan menjadi lebih berkeadilan.
Dalam draf RUU KUP yang diterima kumparan, ada sejumlah hal yang direncanakan pemerintah. Mulai dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) minimum 1 persen pada perusahaan merugi, menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, hingga tax amnesty jilid II.
Untuk PPh minimum, perusahaan atau wajib pajak badan akan dikenakan PPh minimum jika memiliki PPh tidak melebihi 1 persen dari penghasilan bruto.
“Pajak Penghasilan minimum dihitung dengan tarif 1 persen dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto,” tulis Pasal 31F ayat 2 draf RUU KUP yang diterima kumparan.
Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPh 35 persen bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan kena pajak di atas Rp 5 miliar dalam setahun.
Untuk PPN, selain menaikkan tarif menjadi 12 persen, pemerintah juga akan menghapus sejumlah barang dan jasa yang selama ini bebas PPN.

Untuk barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau PPN sembako.
Sementara untuk kelompok jasa, ada sebelas kelompok jasa yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Di antaranya jasa pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus.
Untuk tax amnesty jilid II, pemerintah memiliki dua skema pelaksanaan. Pertama untuk peserta tax amnesty jilid I pada 2016-2017 lalu. Dalam program ini, wajib pajak dapat kembali mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
Untuk program kedua, ini merupakan pengampunan pajak atas harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. Syaratnya, harta masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2019.
Sumber: kumparan
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan