
Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya terasa di sektor kesehatan semata, melainkan juga perekonomian.
APBN memiliki peranan penting, tidak hanya untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, melainkan juga untuk mendorong pemulihan ekonomi. Namun demikian, situasi yang dinamis terkait Covid-19, salah satunya akibat mutasi virus varian delta, telah berdampak pula pada pemulihan tersebut.
Di titik inilah APBN dituntut untuk responsif menyikapi dinamika-dinamika yang ada. Bagaimana langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merespons tantangan demi tantangan itu? Bagaimana pula dengan rencana kebijakan sektor perpajakan yang menarik perhatian seperti tax amnesty II?
Simak penuturan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam program CNBC Indonesia Economic Update, Senin (12/7/2021), berikut ini:
Penerimaan negara saat ini sedang tertekan. Sementara di sisi lain pemerintah butuh belanja lebih banyak lagi untuk mendorong perekonomian. Bagaimana kondisi fiskal pemerintah saat ini?
Kita semuanya baru saja para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 menyelesaikan pertemuan di Venice, Italia. Saya tidak hadir tapi datang secara video conference. Di dalam pertemuan itu, kita semuanya melihat di satu sisi harapan bahwa tahun 2021 akan terjadi pemulihan ekonomi.
Namun, di sisi lain muncul juga beberapa hal yang merupakan risiko yang harus diwaspadai, terutama yang semuanya menyampaikan adalah masalah Covid-19, yaitu munculnya varian baru yang begitu menular. Itu semuanya mengancam beberapa perekonomian dunia bahkan dalam pertemuan G20 beberapa menteri tidak hadir secara fisik seperti dari India, China, kita sendiri kemudian Australia dan beberapa negara lain yang tidak hadir.
Ini menggambarkan bahwa kalau kita bicara tentang ketahanan APBN yang merupakan instrumen penting, para menteri keuangan menyampaikan mereka mendukung perekonomian yang pulih sama seperti kita yang juga melakukan untuk melindungi perekonomian kita, untuk menangani Covid, untuk melindungi masyarakat kita yang paling rentan.
Nah, tahun 2021 ini, sampai dengan semester I terutama kuartal II, kita lihat pemulihan begitu sangat cepat. Kita lihat dari mulai PMI global, kemudian baltic dry indeks yang menggambarkan perdagangan perdagangan internasional, juga di Indonesia sendiri adalah PMI kita yang tertinggi, ekspansif dan dari sisi konsumen juga terlihat adanya confident yang meningkat, ritel juga melonjak sampai dengan bulan Mei, bahkan pada pertengahan Juni.
Sebelum kemudian kita melihat munculnya varian delta dari virus corona yang begitu dominan. Jadi sampai semester I penerimaan perpajakan kita juga meningkat bahkan positif. Kita lihat growth-nya untuk perpanjangan itu 8,8% dan ini menggambarkan baik pada kepabeanan dan cukai yang menggambarkan perdagangan internasional, ekspor kita dua bulan berturut-turut tumbuh 50%, di atas 50% April dan Mei dan juga untuk bahan baku barang modal juga melonjak. Itu menggambarkan kegiatan manufaktur yang sudah mulai meningkat.
Hal ini yang mungkin perlu untuk kita di satu sisi memiliki alasan untuk memiliki harapan bahwa tahun 2021 tetap merupakan tahun pemulihan, namun kita tidak lengah dan tetap waspada. Seperti yang tadi juga disampaikan varian Covid-19 yang terus berubah dan ini menimbulkan ancaman dan tentu kecepatan kita untuk melakukan vaksinasi.
Karena kalau vaksinasi itu meluas dan cukup banyak maka tradeoff atau pilihan antara bagaimana kita bisa menjaga masyarakat dari Covid-19 dan melindunginya dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan sosial yang sudah mulai kita bisa normalisasi atau kita pulihkan. Itu yang merupakan tantangan paling penting di dalam kita mengelola ekonomi, sosial dan terutama pada saat kita menghadapi Covid ini.
PPKM Darurat tentu saja akan membuat anggaran meningkat. Baru-baru ini bahkan Pak Airlangga (Menko Perekonomian Airlangga Hartarto) menyampaikan ada usulan tambahan anggaran di angka Rp 225,4 triliun. Sebenarnya seperti apa strategi baru untuk mempertahankan dan sambil memperkuat keamanan fiskal Indonesia, in case PPKM darurat ini harus diperpanjang lagi?
Pertama tadi saya sampaikan dari sisi penerimaan ada harapan baik itu dari pajak, kemudian bea dan cukai dan juga dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) karena tadi adanya kenaikan harga-harga komoditas kita lihat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak kita. Ini merupakan sesuatu yang merupakan aspek positifnya. Tapi di sisi lain belanja juga mengalami perubahan terutama tadi kenaikan Covid-19 yang menyebabkan belanja kita harus meningkat terutama di sektor kesehatan dan perlindungan masyarakat.
Nah di sisi lain kita memang mendorong belanja pemerintah di dalam rangka untuk mendukung pemulihan ekonomi. Sampai dengan semester I kemarin tumbuh 19% dan itu memang memberikan dukungan yang luar biasa bagi pemulihan ekonomi kita. Belanja barang kita naik sampai 79% terutama dalam rangka membantu masyarakat seperti bantuan kepada usaha kecil menengah (UMKM), kemudian untuk kesehatan itu masuk dalam belanja barang terutama untuk vaksinasi dan juga belanja modal kita naik hampir 90%. Nah ini menggambarkan bahwa APBN bekerja luar biasa untuk ikut atau mendorong pemulihan ekonomi.
Dari sisi kita melihat terjadinya lonjakan Covid-19 dan kemudian diterapkannya PPKM Mikro maka kita juga perlu untuk memberikan perlindungan atau percepatan belanja terutama kepada masyarakat yang vulnerable, maka kita meningkatkan belanja untuk bantuan sosial, dua bulan untuk yang BST dan untuk PKH kita majukan untuk kuartal ketiganya dibayarkan pada bulan Juli dan ini juga kita tambahkan lagi dari sisi diskon listrik terutama untuk masyarakat yang paling bawah, yaitu 450 VA dan 900 VA. Itu 32 juta lebih pelanggan yang akan mendapatkan perpanjangan diskon sampai dengan September.
Nah anda menanyakan bagaimana kemudian kita memenuhi belanja yang meningkat? di satu sisi belanja ini memang sudah dicadangkan karena kita tahun 2021 temanya tetap pemilihan ekonomi. Defisit (APBN) 5,7% itu ditujukan supaya kita mampu mendorong ekonomi, apakah itu belanja modal dan belanja barang dan bansos. Namun dengan adanya kenaikan Covid-19 ini maka belanja di bidang kesehatan menjadi meningkat.
Kami melakukan refocusing artinya belanja-belanja yang kita anggap tidak prioritas dan bisa ditunda kita melakukan penundaan dan pengalihan kepada belanja untuk mendukung PPKM darurat. Dan di sinilah muncul sekarang belanja untuk kesehatan naik menjadi Rp 193 triliun, tadinya kita mengalokasikan di bawah Rp 150 triliun jadi Rp 172 triliun dan sekarang jadi Rp 193 triliun. Ini terutama untuk testing, tracing, treatment terutama untuk pembayaran mereka yang kemudian vaksinasi ditingkatkan. Bapak presiden (Presiden Joko Widodo) minta dari 1 juta menjadi 2 juta dan bahkan 3 juta pada kuartal akhir tahun 2021. Ini jelas membutuhkan mobilisasi anggaran yang luar biasa.
Di sisi lain masyarakat perlindungan sosial tadi telah saya sampaikan ditingkatkan. Nah anda menanyakan bagaimana kita melakukan refocusing? tadi saya sudah sampaikan kemarin di dalam sidang kabinet terakhir ada lebih dari Rp 26 triliun belanja-belanja yang di semester II yang kita lihat bukan merupakan belanja yang prioritas atau bisa ditunda, kita minta untuk itu dialihkan menjadi belanja di bidang kesehatan dan tambahan bansos.
Di sisi lain juga transfer ke daerah juga sama. Di sisi lain kita sudah memberikan transfer tapi kita melihat daerah harus mengalokasikan dari transfer yang kita berikan kepada mereka untuk penanganan Covid-19, untuk melindungi masyarakat. Sebanyak 8% dari DAU, DBH dan juga DAK Fisik serta dana insentif daerah kita mintakan untuk ditujukan bagi perlindungan masyarakat dan penanganan Covid-19 dan Dana Desa juga sama Rp 72 triliun ini kita mintakan untuk 8 juta masyarakat desa atau kelompok masyarakat desa yang harus diberikan bantuan sosial.
Ini yang menggambarkan bahwa APBN kita memang harus dinamis dan responsif, karena kita tidak pernah tahu dari kenaikan Covid-19 itu kapan terjadinya dan bentuknya akan seperti apa, yang kita lakukan adalah mengupayakan supaya tidak makin menjadi buruk dan tentu untuk masyarakat bisa terlindungi.
Harus tetap terus dinamis dan responsif kesehatan fiskal kita juga tidak lepas dari angka defisit APBN. Sampai kapan defisit APBN kita masih memungkinkan untuk bisa terus dilonggarkan di atas 3%?
Berdasarkan Undang-Undang 2 Tahun 2020 yaitu yang awalnya adalah perppu dari Presiden karena kita merespons kondisi Covid-19 tahun 2020 yang lalu, maka kita menetapkan bahwa anggaran atau APBN kita untuk tiga tahun berturut-turut bisa dapat memiliki defisit di atas 3%, ini adalah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di bawah UU keuangan negara yang maksimal defisit 3%.
Saya tadi di awal menyampaikan ada pertemuan G20, di dalam pertemuan ini juga disampaikan banyak negara yang harus betul-betul menimbang bagaimana dan kapan kita akan menarik dukungan fiskal dan moneter bagi perekonomian yang sedang terhantam oleh Covid-19. Di dalam komunikasi di antara negara-negara G20 para menteri menyampaikan bahwa kita semuanya harus berhati-hati dalam menarik dukungan, jangan terlalu cepat dan jangan terlalu drastis karena akan menimbulkan dampak bagi perekonomian yang mungkin sedang dalam pemulihan ini.
Oleh karena itu di satu sisi kita punya UU Nomor 2/2020 yang akan kita laksanakan dan ini berarti sampai dengan tahun 2022, nanti untuk tahun 2023 kita masih akan membahas dengan DPR tahun depan dan itu dimulai pada bulan Maret dan tentu pada saat itu kita akan mengevaluasi seluruh elemen pemulihan ekonomi kita. Dari sisi demandnya apakah konsumsi sudah pulih atau sudah bisa tumbuh, terutama untuk kelompok menengah atas yang selama ini tertahan karena Covid-19.
Tentu kalau kita berharap vaksinnya sudah mulai meluas dan tantangan Covid makin bisa kita kendalikan maka confident bagi konsumen akan bisa pulih kembali dan itu memulihkan cukup signifikan perekonomian kita. Investasi juga kita akan lihat nanti dan juga perdagangan internasional seperti ekspor dan impor.
Ini semua komponen yang akan menentukan bagaimana desain APBN tahun 2022 ke depan. Tentu tetap harus sangat pragmatis. Di satu sisi lihat semua data karena ini adalah policy yang harus di-drive dan didasarkan oleh data, bukan oleh suatu keyakinan yang tidak berdasar karena ekonomi itu di satu sisi adalah mengenai data statistik tapi juga psychologist dan signaling dan pemerintah dalam hal ini akan tetap menjaga pemulihan ekonomi secara konsisten karena ini penting sekali.

Terkait rencana kenaikan sejumlah tarif pajak dan rencana tax amnesty jilid yang kedua, bisa dijelaskan update terkini pembahasannya? Apakah ada target kebijakan-kebijakan itu kapan kira-kira bisa diterapkan?
Kita sekarang sedang dalam pembahasan dengan DPR. Dalam hal ini kita bahas proses legislasi. Jadi pertama RUU sudah kita sampaikan ke DPR, dan sudah dibacakan di Rapat Paripurna dan diminta Komisi XI untuk membahasnya dengan pemerintah. Kami telah menyampaikan di dalam presentasi dengan Komisi XI DPR yang merupakan komisi yang ditugaskan untuk membahas ini.
Kita sudah sampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan RUU KUP yang mencakup semacam omnibus di bidang perpajakan. Kenapa ini penting? Karena, seperti tadi saya sampaikan, baru saja kita bicara dengan G20. Ini ada yang sangat historical dicapai, yaitu kesepakatan antarnegara untuk melaksanakan apa yang disebut global taxation regime yang baru. Di mana akan menerapkan minimum corporate tax, terutama untuk perusahaan yang bergerak atau beroperasi lintas yurisdiksi. Ini sangat penting karena banyak korporasi itu pasti headquarter di mana, atau tempat di mana dia registered di satu yurisdiksi, tapi dia bergerak dan beroperasi di yurisdiksi yang lain. Ada negara yang jadi tujuan marketnya. Oleh karena itu sangat sulit untuk menentukan hak pajaknya yang adil.
G20 ini mencapai suatu kesepakatan yang sangat historis. Karena ini satu kesepakatan yang mengubah rezim perpajakan global dalam 100 tahun terakhir yang dipraktikan selama ini, dan dianggap tidak lagi mencerminkan keadilan dan situasi saat ini. Terutama kalau kita bicara ekonomi digital, dan tak hanya ekonomi digital. Banyak perusahaan yang bergerak lintas negara.
Jadi saya ingin sampaikan, seluruh policy dan regulasi perpajakan kita harus juga mengikuti suatu perubahan global yang sedang terjadi, maupun perubahan ekonomi kita sendiri yang sedang terjadi. Ekonomi kita dengan adanya Covid-19 banyak yang beralih ke segmen digital. Maka kita juga harus bisa antisipasi bagaimana dengan adanya perubahan ini kita bisa menerapkan rezim perpajakan yang adil. Adil artinya mereka yang punya kemampuan harus membayar pajak, mereka yang tidak punya kemampuan akan diberikan subsidi atau bansos. Di sinilah letak kita memperbaiki PPN, PPh, dan peraturan KUP nya. Dan kita juga reformasi DJP dari sisi SDM dan organisasi serta IT nya. Ini semua kita lakukan tidak sepotong-potong.
Tax Amnesty (TA) jilid II dianggap sangat tidak efektif oleh beberapa pihak. Tanggapan anda?
Kita sudah menyampaikan di dalam pembahasan dengan DPR, bagaimana berbagai upaya dalam kita meningkatkan kepatuhan. Jadi ini persoalannya adalah bagaimana meningkatkan kepatuhan. Dari dulu, waktu saya menjadi Menteri Keuangan 2005-2010, kita menerapkan Sunset Policy, di mana dari berbagai data yang kita miliki, dan dari kepatuhan, kita memutuskan untuk memberikan pengampunan dari sisi hukumannya, namun tetap dengan rate yang sama.
Kemudian saya diminta lagi jadi menkeu pada 2016. Pada saat itu UU TA sudah ditetapkan antara pemerintah dan DPR. Di mana kita untuk meningkatkan compliance dari data yang ada, maka diberikan TA. Dan sesudah itu juga kita memberikan beberapa peluang atau kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan kepatuhannya. Ada melalui penegakan hukum, artinya kita punya data dan bukti, dan kita tagih. Dan kalau mereka punya niat tidak baik, bahkan ada yang disebut penahanan badan atau gijzeling atau kita lakukan perampasan, itu dilakukan.
Di sisi lain kita akan tetap persuasif. Kalau Anda memang punya niat baik dan Anda mau report pada kita, maka kita berikan ruang. Ini terus kita lakukan. Karena kita menyadari bahwa Indonesia dengan jumlah pembayar pajaknya masih relatif, walaupun ini sekarang sudah mencapai 40 juta, namun mayoritas individual yang di bawah PTKP. Dan tentu kita akan minta pada kelompok atau segmen yang punya kapasitas untuk membayar pajak, mereka untuk terus makin meningkatkan kepatuhannya.
Dengan kerja sama pajak internasional saat ini, akses informasi, dengan berbagai langkah yang dilakukan antarnegara, maka kita juga makin berikan signal kepada pembayar pajak sebaiknya anda patuh. Namun, kita tetap berikan ruang juga untuk mereka melakukan compliance secara volunteer. Dan inilah kombinasi stick and carrot yang akan terus kita lakukan.
Kita sampaikan, dan kita bahas bersama DPR bagaimana compliance atau kepatuhan kita tegakkan. Data yang kita peroleh, kemudian kita verifikasi, dan kemudian kita lakukan bukti-bukti tambahan, dan kita sampaikan ke WP bahwa kita memiliki data harta Anda dan ini belum ada di dalam SPT Anda. Sebaiknya Anda sekarang melakukan sesuai peraturan yang ada.
Itulah yang terus kita lakukan. Di dalam membangun rezim perpajakan di Indonesia, selalu ada background historisnya. Namun kita akan tetap menjaga kepentingan basis pajak kita. Baik dari erosi akibat terjadinya praktik-praktik multinasional corporation antaryurisdiksi, maupun di dalam negeri sendiri yang bisa melakukan evasion maupun avoidance. Dan ini adalah tantangan yang terus terjadi di semua rezim, di semua masa. Oleh karena itu, kita akan terus merespons secara betul-betul melihat semua di dalam meningkatkan compliance pajak.
Potensi tercapainya target pertumbuhan ekonomi 7%-8% untuk kuartal II-2021 yang sudah disampaikan. Masihkah kita bisa optimistis di angka tersebut?
Seperti tadi saya sampaikan, sampai dengan kuartal kedua kemarin terutama pada bulan April dan Mei memang terjadi pemulihan yang sangat-sangat cepat. Kita lihat tadi saya katakan PMI manufaktur indeks kita adalah 53,5 adalah zona ekspansif yang sangat kuat, indeks keyakinan konsumen kita di 107,4 ini adalah zona optimis, indeks penjualan ritel kita mencapai kenaikan 11,6, double digit yang cukup solid dan juga penjualan mobil sesuai dengan insentif yang diberikan pemerintah bahkan melonjak sampai 194% pada bulan April, mobilitas masyarakat kita sebelum terjadinya PPKM Darurat juga meningkat sangat signifikan dan sisi lain tadi saya sampaikan pemerintah juga mendorong dengan belanja pemerintah yang meningkat sangat kuat.
Nah inilah yang menjadi landasan kenapa kita mengatakan proyeksi perekonomian apabila Covid-19 tidak kemudian muncul dan kemudian menimbulkan dampak terhadap penurunan mobilitas dan aktivitas ekonomi. Waktu itu kami menyampaikan kuartal kedua kita bisa tumbuh antara 7% hingga 8%, kemudian kita lihat munculnya kenaikan jumlah Covid-19 terutama mulai muncul beritanya dulu dari mulai di India kemudian sesudah lebaran dan itu mempengaruhi dibulan Juni terutama pada sentimen masyarakat. Pada paruh kedua bulan Juni kita akan melihat memang terjadi tanda-tanda masyarakat mulai spelling down, itu karena dampak psikologis maupun dampak yang memang sifatnya objektif yaitu kenaikan jumlah Covid-19 dan kemudian pemerintah melakukan PPKM darurat. Ini yang menyebabkan kemudian angka 8% menjadi tidak realistis, karena adanya koreksi.
Dulu waktu bulan Maret kita juga lihat waktu kita melakukan PSBB itu mempengaruhi sangat signifikan kuartal I kita, sehingga kuartal I kita kan masih 0,7% negatif, ini adalah kontraksi yang betul-betul karena terjadinya beberapa koreksi terutama pada bulan Maret sesudah kenaikan Covid-19 akibat Liburan Natal dan Tahun Baru. Hal ini akan sama terjadi di kuartal kedua, di mana Juni minggu kedua akan dipengaruhi dampaknya karena adanya kenaikan atau lonjakan ini.
Jadi kita masih tetap optimis di atas 7% karena tadi April, Mei hingga pertengahan Juni masih cukup kuat. Namun memang kita sadari bahwa risiko mulai melonjak dan ini berarti akan mempengaruhi terutama pada sisi konsumsi dan konsumsi yang tadi saya sebutkan konsumsi kelompok menengah atas, yang mereka akan sangat terpengaruh oleh penurunan mobilitas. Sedangkan untuk masyarakat bawah kita tingkatkan melalui bansos yang kita harapkan akan mampu untuk melindungi mereka dari gelombang kedua ini.
Jika diyakini kuartal ketiga dan keempat kontraksi tidak dapat dihindari. Proyeksi dari Kementerian Keuangan seperti apa?
Kuartal tiga tahun lalu kita sebetulnya memang sudah mulai terjadi pemulihan. Jangan lupa kalau kita lihat patternnya tahun lalu. Tahun lalu bulan Juli, Agustus, September memang adalah tahun atau kuartal mulai terjadi lagi kenaikan aktivitas masyarakat karena Covid-19 mulai bisa kita kendalikan atau terjadilah yang disebut gas rem yang muncul.
Nah sekarang kalau pukulannya sangat berat pada kuartal ketiga ini terutama Juli pasti ini akan memengaruhi. Karena Juli itu biasanya secara seasonal atau musiman harusnya masyarakat anak-anaknya libur sekolah dan kemudian mereka melakukan aktivitas keluarga termasuk melakukan konsumsi, transport, hotel, restoran. Namun dengan adanya Covid-19 kegiatan itu tidak terjadi dan itu pasti akan memeengaruhi. Tapi masih bisa berharap dan berharap kalau ini bisa kita kendalikan bersama masyarakat, disiplin kesehatan, menerapkan 5M, tidak hanya masker, menjaga jarak, mencuci tangan tapi ya terus-menerus kita mengingatkan satu sama lain untuk disiplin kesehatan dan juga vaksinasi berjalan, maka kita berharap Agustus, September, kita bisa mengejar karena adanya penurunan aktivitas pada bulan Juli ini.
Dengan demikian kita berharap masih akan ada pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal ketiga dan keempat. Secara total kita masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 antara 3,7% hingga 4,5%. 4,5% itu kalau kita optimis bahwa Covid-19 bisa dijaga pada level moderat dan segera kemudian aktivitas, mobilitas bisa kembali pulih pada bulan Agustus. Kalau ini agak panjang maka kita bisa turun pada angka 3,75%.
Adakah rencana tambahan stimulus atau insentif baru untuk berbagai sektor yang terdampak parah akibat pandemi kali ini?
Kita terus melakukan re-kalibrasi ya atau melihat dan mengevaluasi terus menerus seluruh berdasarkan data. Jadi umpamanya kemarin kita lihat kalau pemulihan dari sisi konsumsi terutama dari kelompok segmen atas, kemudian muncul ide memberikan PPN dan PPnBM untuk terutama rumah dan kemudian kendaraan dan itu kita lakukan dan ternyata seperti tadi saya sampaikan permintaan atau pembelian mobil meloncat 194%. Kita berharap untuk yang real estate dan konstruksi juga bisa, karena ini adalah sektor yang sangat sangat memiliki multiplier sangat besar bagi perekonomian, baik dari sisi berbagai macam sektor, sub sektor yang terkait dengan real estat maupun dari sisi penciptaan kesempatan kerja.
Nah kita juga akan lihat, kalau tadi transport, hotel dan restoran. Ini adalah sektor yang sangat intens terhadap mobilitas masyarakat, sedangkan Covid-19 itu sering mengharuskan kita tidak boleh melakukan aktivitas, mobilitas tadi. Sehingga memang untuk transport kita akan melihat apa langkah yang bisa kita bantu, apakah itu transportasi darat, laut dan udara. Tentu ini akan merupakan suatu situasi dimana hampir semua airlines di dunia mengalami kesulitan yang luar biasa.
Kemudian untuk darat kita akan lihat apa yang akan terjadi, tapi itu sangat tergantung kepada tadi pengendalian Covid-19. Untuk perhotelan dan pariwisata kita beberapa kali mencoba untuk apakah kita akan memberikan insentif bagi masyarakat. Umpamanya waktu itu work from Bali atau kita memberikan discount ataukah kita memberikan berbagai macam insentif bagi perhotelan, termasuk yang sudah kita berikan tahun lalu adalah memberikan hibah melalui pemerintah daerah untuk restoran dan hotel. Dan itu sangat-sangat membantu karena memang hotel cash flow-nya luar biasa drop pada situasi saat ini. Banyak hotel yang sekarang dikonversi menjadi tempat isolasi, itu tentu memberikan dampak cash flow bagi mereka, tetapi tidak semua hotel menjadi seperti itu. Sehingga memang untuk hal ini kami betul-betul bersama Menteri Parekraf (Sandiaga Uno) mencoba merumuskan.
Namun sekali lagi ini selalu berhubungan dengan Covid-19. Jadi walaupun kita berikan insentif kalau Covid-19 masih mengancam, masyarakat nggak akan mau kalau dikasih kan diskon untuk pergi, pergi ke suatu daerah atau bahkan pemerintah melarang seperti yang sekarang ini kita melarang untuk melakukan mobilitas karena memang jauh lebih tinggi daripada manfaat untuk memulihkan sektor tersebut.
Ini pilihan-pilihan yang tidak mudah bagi kita, maka tadi saya sampaikan kuncinya adalah vaksinasi tetap harus diperluas, sehingga tradeoff itu tidak terjadi, sehingga kita bisa mendorong masyarakat untuk aktif lagi melakukan kegiatan sehingga sektor-sektor tadi seperti transport, restoran, hotel bisa tumbuh dan juga perdagangan tanpa kemudian menimbulkan risiko Covid-19 kambuh atau meningkat lagi. Inilah upaya yang betul-betul sedang dilakukan karena tanpa itu ya akan terjadi tadi pilihan antara memulihkan ekonomi dengan Covid-19 dan ini tidak seharusnya terjadi. Namun ini terjadi kalau kita tidak melakukan tadi disiplin kesehatan dan vaksinasi yang meningkat.
Sumber: cnbcindonesia
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan