Menggiring Wajib Pajak dengan Kebijakan Paralel

Daluwarsa penagihan pajak diperpanjang.

Tema seminar itu begitu mengundang: Jebakan-jebakan Tax Amnesty, Antisipasi, dan Optimalisasinya oleh UMKM. Dengan biaya Rp 1,2 juta per orang, peserta bisa mendapat bimbingan mengikuti dan memanfaatkan tax amnesty. Sangat mungkin karena judul bombastis itu, seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika, Depok, 6 Agustus lalu tersebut, dibanjiri peserta.

Cuma, judul tersebut ternyata mengundang masalah. Kabarnya, banyak pihak keberatan dengan tema seminar yang seolah mengesankan tax amnesty adalah jebakan betmen. Sampai-sampai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang sejatinya memberikan pengantar dalam seminar tersebut membatalkan kahadirannya.

Panitia bahkan harus membuat permohonan maaf serta mengganti tema seminar. “Padahal bunyi tema tersebut hanya untuk menarik perhatian publik saja,” kata salah seorang penanggungjawab seminar yang tak mau disebut namanya.

Panitia akhirnya mengirim dan memppublikasi permintaan maaf. Tema seminar pun akhirnya berubah menjadi: Optimalisasi Tax Amnesty oleh UMKM. “Syukurlah, seminar tetap bisa berjalan. Kami kan sejatinya mendukung program tax amnesty,” ujar sang panitia sambil tersenyum kecut.

Realisasi Seret.

Peristiwa kecil tersebut member bukti betapa sangat pentingnya program pengampunan pajak bagi pemerintah. Maklum, sampai akhir semester I 2016 lalu, penerimaan pajak baru mencapai 33,9% dari target penerimaan pajak tahun ini yang sebesar Rp 1.539,17 triliun. Artinya, pemerintah harus mengejar realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.077 triliun di semester II 2016. Ini jelas bukan jumlah yang sedikit.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang baru, sudah mengambil langkah antisipasi kemungkinan melesetnya realisasi penerimaan dari target yang berujung makin lebarnya difisit. Sebab, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan kata lain, pemerintah harus mengerem defisit agar tidak melanggar UU. Caranya adalah dengan memangkas belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).

Tak tanggung-tanggung, mantan Managing Director Bank Dunia itu menggunting belanja APBN-P 2016 sampai Rp 133 triliun. Rianciannya, anggaran kementerian /lembaga dipotong Rp 65 triliun dan transfer ke daerah ditebas Rp 68 triliun.

Belanja harus dipangkas karena, menurut Sri, realisasi penerimaan pajak hanya akan mencapai 86% dari target APBN-P 2016. “Perkiraan pemerintah, realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun ini akan Rp 219 triliun lebih rendah dari target,” katanya.

Selain pertuumbuhan ekonomi domestik yang masih lesu dan pertumbuhan ekonomi global yang loyo, Sri menilai, penetapan basis perhitungan penerimaan pajak di 2016 tutur menyumbang masalah karena sangat tidak realistis. Soalnya, basis perhitungan penerimaan pajak 2016 menggunakan target penerimaan dalam dua tahun terakhir. Padahal, selama dua tahun tersebut, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target yang ditetapkan.

Makanya, pemerintah mati-matian menggenjot penerimaan dari program tax amnesty. Sampai Selasa (9/8) lalu, jumlah dana yang sudah dideklarasi mencapai Rp 9,27 triliun dengan total dana tebusan mencapai Rp 193 miliar. Ini jelas masih jauh dari target dana tebusan sebesar Rp 165 triliun.

Pemerintah pun melakukan berbagai cara untuk menambah pundi penerimaan negara. Caranya, dengan meluncurkan kebijakan perpajakan yang paralel dengan kebijakan tax amnesty. Tujuannya untuk menngkatkan daya tarik tax amnesty sekaligus mengiring wajib pajak agar memilih pengampunan pajak.

Pertama, membuka peluang bagi wajib pajak (WP) yang sedang dalam proses penyelidikan pidana pajak untuk mengajukan permohonan penghentian penyelidikan ke Menteri Keuangan. Syaratnya, sebelum mengajukan permohonan penghentian, wajib pajak harus melunasi pajak yang selama ini tidak dibayar atau kurang bayar.

Selain itu, nilai yang harus ditambah dengan sanksi denda sebesar empat kali jumlah pajak. Kalau permohonannya diterima oleh Menteri Keuangan, surat keputusan penghentian penyidikan akan dikeluarkan Jaksa Agung. Mereka yang bisa mengajukan penghentian penyidikan ini adalah wajib pajak pribadi dan badan, kuasa wajib pajak, serta pihak yang turut serta atau pihak yang membantu tindak pidana pajak.

Pengehentian proses penyidikan dan proses pidana pajak ini dapat menjadi jalan keluar bagi bagi para terpidana pajak untuk terbebas dari masalah pajak. Maklum, dalam Undang-Undang (UU) tax amnesty, mereka yang sedang dalam proses pidana pajak, tidak akan bisa mendapat tax amnesty.

Kebijakan ini tidak berhenti sampai disini. Ada juga kebijakan penghapusan ketentuan menyediakan jaminan dalam rekening penampungan sementara atau escrow account. Ketentuan sebelumnya, wajib pajak yang ingin penyidikan pidana pajaknyadihentikan, harus menyetor sejumlah uang senilai utang pajak ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 400% dari pajak yang tidak atau kurang dibayar ke rekening escrow account.

Sekarang, wajib pajak tak perlu lagi membuat escrow account. Menurut Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, wajib pajak cukup melampirkan surat setoran pajak (SSP)atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat tersebut. Gunanya, sebagai bukti pelunasan jumlah pajak dan sanksi administrasi yang harus dibayarkan.

Tak ada lagi gijzeling

Kebijakan ketiga, pemerintah menghentikan upaya paksa penyanderaan atau gijzeling kepada wajib pajak yang memiliki tunggakan pembayaran pajak. Sebelumnya, Ditjen Pajak bahkan mewajibkan setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di semua daerah melakukan gijzeling minimal terhadap dua wajib pajak pada tahun ini.

Menurut Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, Angin Prayitno Aji, otoritas pajak menaksir nilai penerimaan dari upaya gijzeling ini bisa mencapai Rp 1 triliun. Sampai pertengahan Juni 2016 lalu, Ditjen Pajak sudah melakukan gijzeling kepada 25 wajib pajak. Dari jumlah itu total penerimaan pajak yang telah dibayarkan sebesar Rp 106 miliar.

Harta yang diperoleh sejak 1985 dan tidak dilaporkan akan dianggap sebagai penghasilan.

Tak main-main, Ditjen Pajak sudah menggandeng Polri untuk kebijakan yang satu ini. Seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak hingga KPP bahkan sudah menekan pedoman kerja dan implementasi kesepakatan teknis nota kesepahaman dengan satuan unit Polri tingkat daerah, mulai dari Kepolisian Daerah (Polda) hingga Kepolisian Resort (Polres).

Sekarang dengan adanya tawaran tax amnesty, Ditjen Pajak tak akan memaksakan upaya gijzeling. Sebaliknya, yang dilakukan adalah pendekatan persuasif agar wajib pajak mau melunasi utang pajaknya. “Cukup melunasi tunggakan pokoknya saja. Sanksi denda tak perlu bayar. Tapi harus ikut tax amnesty,” kata Yoga.

Yang terakhir, yang bisa jadi paling bikin ngeri, adalah perpanjangan masa daluwarsa penetapan pajak yang selama ini berlangsung 5 tahun, diperluas menjadi 30 tahun atau sejak 1 Januari 1985. Ini adalah konsekuensi dari UU tax amnesty.

Dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) daluwarsa penetapan sebenarnya hanya 5 tahun. Tapi UU Pengampunan Pajak mengatur, harta yang di peroleh wajib pajak sejak 1985 dan belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dilakukan penagihan pajak.

Ini diatur dalam pasal 18 UU tax amnesty. Atas tambahan tersebut, dikenakan pajak dan saksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sanksi ini khusus untuk wajib pajak yang tidak ikut program tax amnesty.

Adapun bagi yang ikut tax amnesty, sanksi sedikit lebih ringan. Jika ditemukan ada harta yang diperoleh sejak 1985 tetapi tidak dilaporkan saat mendaftar tax amnesty, maka harta itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta ditambah sanksi administrasi pajak berupa kenaikan.

Tetapi, ketentuan itu berlaku sampai dengan juni 2019 atau sampai berakhirnya penerapan program tax amnesty. Artinya, “Kami hanya diberi waktu selama 3 tahun untuk menemukan harta yang tidak dilaporkan wajib pajak tersebut. Setelah lewat 3 tahun, tidak bisa dilakukan penetapan,” ujar Yoga.

Direktur Eksekutif Centre for Indonesia taxation (CTA) Yustinus Prastowo menilai, langkah pemerintah menghentikan pemeriksaan dan penyelidikan pidana pajak sudah tepat. Sebab, konsekuensi dari memberikan pengampunan pajak adalah moratorium law enforcement.

Masalahnya, saat ini terasa seperti ada kesan adu balap di KPP mana yang lebih cepat antara pemeriksaan atau tax amnesty. Yustinus menilai, ini tidak sehat. Karena itu, ia meminta Ditjen Pajak memperketat pengawasan serta membuat standar prosedur yang jelas bagi setiap pencabutan pemeriksaan pidana pajak.

Menurut Adreas Adoe, pengamat perpajakan UI, untuk mengetahui harta wajib pajak yang ada diluar negeri, Ditjen Pajak harus mendapat informasi dari otoritas pajak negara lain. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20 telah merencanakan peningkatan transparansi berupa pertukaran informasi otomatis perbankan, termasuk beneficial owner atau kepemilikan badan usaha termasuk trust sehingga menyulitkan penyebunyikan harta lewat shell company di luar negeri.

Artinya, kalau mau ikut tax amnesty, musti jujur kali ye.

Penulis : Amal Ihsan Hadian, Silvana Maya Pratiwi

Sumber : Tabloid Kontan

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar