Penarikan pajak bagi industri Internet menuai protes dari para pengusaha. Tak hanya bisnis over the top yang berkeberatan, pengusaha lokal pun ingin agar penerapan pajak ini adil.
Chief Finance Officer Bukalapak.com Muhamad Fajrin Rasyid meminta pemerintah mengkaji ulang pungutan pajak hanya bagi transaksi dagang elektronik (e-commerce). Khususnya terhadap pengusaha yang tidak mengandalkan pendapatan dari pemasangan iklan barang.
Fajrin beralasan, bisnis e-commerce memiliki jenis pendapatan berbeda antara satu model dan yang lainnya. “Kurang adil apabila menerapkan pajak yang sama antara tukang bubur ayam depan rumah dan KFC,” katanya kepada Tempo, Kamis, 13 Oktober 2016.
Lebih jauh, Fajrin mengatakan, pemerintah juga harus memperhatikan nasib pedagang perorangan serta usaha kecil dan menengah yang tumbuh subur di ladang e-commerce. “Nantinya akan menumbuhkan iklim investasi yang pada akhirnya dapat menopang pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Pemerintah semakin gencar memburu pajak dari setiap subyek yang mendulang keuntungan dari Internet. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan. Selain mengejar pajak perusahaan over the top, seperti Google dan Facebook, pemerintah membidik pendapatan dari buzzer atau selebritas di media sosial yang berkampanye dan menampilkan iklan.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas E-Commerce. Ada empat model bisnis Internet yang akan dikenai pajak berdasarkan surat itu, yaitu marketplace, classified ads, daily deal, dan peretail online.
Marketplace adalah situs yang menyediakan jasa bagi pedagang untuk menjual barang dan jasa dagangan lewat Internet. Classified ads merupakan situs untuk memajang konten (teks, grafik, dan video) iklan. Adapun daily deals adalah situs kegiatan usaha atau jual-beli dengan voucher sebagai sarana pembayaran.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi sebelumnya mengatakan masyarakat yang memanfaatkan media sosial untuk meraup keuntungan dikategorikan sebagai wajib pajak. “Kalau ada keuntungan, ya, kena pajak penghasilan,” tuturnya di kompleks DPR, Jakarta, Rabu malam, 12 Oktober 2016.
Pernyataan Ken itu menjawab pertanyaan terkait dengan pihak pengguna media sosial mana saja yang dikenai pajak penghasilan. Ken lalu membenarkan bahwa pemilik toko dalam jaringan (online) dan pelaku kegiatan endorsement produk termasuk kategori tersebut.
Tak terkecuali buzzer dan selebritas Instagram (selebgram). Mengenai tarif yang berlaku, tak berbeda dengan tarif pajak penghasilan yang selama ini diterapkan.
Kegiatan jual-beli online dan endorsement di media sosial marak terjadi. Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan potensi penerimaan pajak dari kegiatan tersebut bisa mencapai US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 15,6 triliun.
Sumber: http://www.pengampunanpajak.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:pemeriksaan pajak
Tinggalkan Balasan