Jakarta – Selama bertahun-tahun, hampir tak ada sentuhan tangan pemerintah dalam pengelolaan infrastruktur di Tanah Air. Banyak waduk, embung, saluran irigasi dibiarkan mendangkal, beralih fungsi, atau bahkan hilang sama sekali. Padahal, pengolahan air merupakan satu syarat mutlak bila pemerintah ingin menjadikan pangan sebagai salah satu komoditas andalan. Itu baru infrastruktur di sektor pengairan.
Sektor transportasi darat, laut, dan udara, juga menyodorkan cerita yang lebih kurang mirip. Kalaupun ada pembangunan, yang terjadi sebatas renovasi, bukan membangun sesuatu yang baru. Atau, dibangun di wilayah yang semula tidak memiliki infrastruktur tersebut.
Bambang Brodjonegoro, sewaktu menjadi Menteri Keuangan, menyebut kondisi infrastruktur kita sangat kuno. Kalau dikaitkan dengan masuknya investasi asing, kondisi tersebut tentu tidak menggiurkan bagi pemodal. Keminiman konektivitas satu wilayah dengan wilayah lain membuat para pemodal asing berpikir dua kali sebelum memutuskan menaruh uang di Indonesia.
Di awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo langsung membidik infrastruktur sebagai salah satu prioritas pembangunan. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan sekitar 100-an infrastruktur strategis itu, pemerintah membutuhkan dana Rp 5.500 trilyun hingga tahun 2019 (setelah dipertajam ke dalam 30 proyek infrastruktur strategis, dibutuhkan Rp 1.500 trilyun).
Pembiayaan proyek infrastruktur strategis itu sebagian disokong APBN. Sisanya, menurut Presiden Jokowi, akan dibiayai BUMN dan swasta. Porsi APBN, menurut Presiden, hanya sekitar 30%. Meski hanya 30%, APBN juga menyimpan problem tersendiri, yakni: defisit. Terutama karena penerimaan dari pajak yang terus mengalami shortfall, penerimaan pajak selama beberapa tahun tak pernah mencapai 90% dari target.
Defisit anggaran yang lebih banyak disebabkan oleh berkurangnya penerimaan dari pajak membuat Pemerintah memilih jalan penghematan. Kementerian dan lembaga dipaksa untuk mengetatkan ikat pinggang, pemerintah daerah diminta bersabar untuk tidak berharap terlalu besar pada dana transfer daerah dan dana alokasi khusus. Dari pengetatan ikat pinggang itu, pemerintah bisa menghemat sekitar Rp 130 trilyun.
Tax amnesty menjadi jalan keluar bagi upaya untuk menutup jurang defisit tadi. Terseok-seok di awal pelaksanaan periode pertama, program ini meraih sukses di ujung pelaksaan pertamanya. Pemerintah berhasil mengumpulkan lebih dari setengah target pencapaian, yang jumlahnya Rp 165 trilyun.
Namun, pencapaian itu hanya untuk menambal kekurangan dana dalam APBN 2016. Pekerjaan rumah berikutnya adalah memastikan bahwa penerimaan pajak tetap bisa menjadi andalan pemerintah. Ini berarti, Direktorat Jendral Pajak harus lebih serius memelototi penambahan basis pembayar pajak.
Direktorat Jendral Pajak juga harus lebih diperhatikan kelompok korporasi, terutama karena baru 15% dari tiga juta badan usaha yang memenuhi kewajiban membayar pajak. Kita belum berbicara mengenai badan usaha yang berstatus PMA, yang dalam catatan DJP, 2.000 di antaranya belum membayar pajak.
Itu baru yang berbentuk perusahaan terbatas (PT). Bagaimana dengan CV atau firma? Lebih penting dari itu adalah bagaimana pemerintah bisa mengundang sebanyak-banyaknya investasi asing ke Tanah Air. Rencana untuk menurunkan pajak penghasilan badan (PPh Badan), seperti dikemukakan Presiden Jokowi, adalah sebuah terobosan penting yang harus segera diwujudkan, seiring keinginan pemerintah untuk mereformasi sistem perpajakan Indonesia.
Penurunan pajak penghasilan badan, yang disertai berbagai insentif pajak yang diberikan kepada korporasi, bisa dilebarkan hingga ke pembangunan desa di Tanah Air. Korporasi yang ikut berkontribusi dalam program pemberdayaan masyarakat desa, misalnya, memperoleh tambahan pemotongan pajak penghasilan. Dengan insentif semacam itu, keinginan pemerintah untuk memajukan desa bisa tercapai.
Penurunan bea masuk juga bisa dipikirkan pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Memang, terlihat adanya kekurangan pemasukan dari penurunan bea masuk tersebut, tapi pemerintah masih memiliki kans mengoleksi pajak pertambahan nilai dari usaha yang mendapat penurunan bea masuk tadi.
Potensi penerimaan di luar pajak yang perlu mendapat perhatian ekstra adalah sektor pariwisata dan perikanan. Potensi kedua sektor ini demikian besar, sehingga wajar bila ada negara di dunia yang mengandalkan penerimaan dari kedua sektor ini. Indonesia belum bekerja cukup keras untuk memaksimalkan keduanya.
Sektor riil juga harus mendapatkan porsi kebijakan yang lebih dalam. Pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Namun, tanpa disadari, cita-cita memiliki infrastruktur itu justru menguntungkan negara lain. Proyek infrastruktur Indonesia membutuhkan jutaan ton besi baja. Karena Krakatau Steel tak mampu melayani kebutuhan domestik, besi baja tersebut didatangkan dari luar negeri. Ini berarti industri besi baja di negara lain yang diuntungkan oleh pembangunan infrastruktur Indonesia.
Lampu kuning pemerintahan Jokowi-JK di tahun kedua ini terletak pada pembiayaan. Kemungkinan besar, hingga tahun ketiga pemerintahannya, Jokowi-JK masih akan berkutat dengan persoalan ini. Pemerintah tidak akan memperoleh kemewahan lagi dalam bentuk tax amnesty, terutama karena program semacam itu tidak boleh terlalu sering digelar. Yang perlu dipikirkan adalah mengelola dana yang telah masuk tadi melalui instrumen investasi dan aturan pendukung yang tepat.
Sumber: GATRA
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan