Pekan-pekan ini berbagai review dan diskusi seputar kemajuan ekonomi Indonesia akan menjadi salah satu trending topic. Prestasi Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan diungkit, dibedah, dikritisi dan dievaluasi oleh publik. Maklum, bulan ini tepat dua tahun era Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi memimpin Indonesia.
Jika melihat data-data statistik resmi terbaru yang dirilis pemerintah, indikator makro ekonomi Indonesia memang menunjukkan tanda perbaikan. Inflasi relative rendah di kisaran 3% secara tahunan. Kurs rupiah cenderung stabil di posisi Rp 13.000 per dollar AS, sementara suku bunga kredit perbankan juga terus turun hingga ke bawah 10%.
Tingkat kemiskinan juga diklaim turun 1,7% menjadi 28,01 juta orang. Sementara pertumbuhan ekonomi terjaga 5%, relatif di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara lain.
Namun jangan pula menutup mata bahwa indahnya data-data statistik tadi tidak selalu menggambarkan kondisi riil masyarakat. Lihat saja statistik inflasi memang menunjukkan tren penurunan harga pangan. Namun realitas yang dihadapi konsumen, intensitas fluktuasi harga beras, gula, garam, daging sapi, telur, cabai, bawang merah, ikan asin hingga jengkol, cenderung meningkat.
Nyaris, setiap bulan kita disuguhi oleh gejolak harga pangan. Pekan ini umpamanya harga cabai bisa ditekan, tapi harga telur dan daging naik. Giliran gejolak harga telur bisa direndam, eh, tahu-tahu harga tahu-tempe unjuk gigi.
Setali tiga uang, pembisnis juga masih gundah. Tahun-tahun sebelumnya penjualan dan laba bisa tumbuh. Namun belakangan ini sulit mengenjot omzet alih-alih menambah laba.
Survei Bank Indonesia merekam kegalauan para pengusaha tersebut. Kuartal III-2016, Saldo Bersih Tertimbang (SBT), salah satu parameter optimisme dunia usaha, turun menjadi sebesar 13,20% dari posisi 18,40% pada kuartal sebelumnya.
Penurunan posisi SBT ini menunjukkan dunia usaha pelan-pelan mulai mengerem ekspansi dan produksi. Tak heran jika para pebisnis mengurangi kapasitas terpakai (utilisasi) sebesar 76,21%, sementara kuartal sebelumnya mencapai 77,01%. Dus, kemampuan perusahaan untuk mencetak laba pun merosot.
Dalam konteks yang lebih luas, hasil survei BI ini merupakan sinyal halus mengenai tren kelesuan ekonomi Indonesia. Masyarakat masih mengerem belanja, sementara pebisnis mengurangi pengembangan usaha karena melihat potensi pelemahan ekonomi di depan.
Yang perlu dicatat, aksi ngadat belanja konsumen dan pabrikan bukan karena tidak ada duit. Uangnya sunguh-sungguh ada dan banyak pula! Tak percaya? Kesuksesan program amnesti pajak tahap pertama membuktikan orang Indonesia itu sebenarnya kaya-kaya dan banyak sekali uangnya.
Masalahnya adalah faktor kepercayaan. Para pemilik dana belum pede berbelanja atau berinvestasi disini. Mereka masih lebih nyaman menyimpan dananya diluar negeri. Itu sebabnya, nilai deklarasi harta dan setoran tebusan amnesti pajak tahap pertama bisa mencapai lebih dari 50% total target, sementara nilai repaptriasi hanya mencapai 13% dari target.
Kini, kuncinya ada di pemerintah, yakni bagaimana membangun dan memastikan kepercayaan masyarakat kembali bangkit. Upaya ini menjadi pekerjaan rumah paling mendesak dilakukan. Syaratnya, pemerintahan harus solid dan tidak gaduh alih-alih irama false yang keluar dari orchestra bersama Kabinet Kerja.
Sumber: http://www.pemeriksaanpajak.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:pemeriksaan pajak
Tinggalkan Balasan