Penggelapan pajak menjadi masalah serius bagi berbagai negara. Setiap tahun, pemerintah kehilangan potensi pendapatan karena banyak penduduk melakukan penghindaran pajak dengan beragam cara. Untuk alasan ini, pemerintah menerapkan pengampunan pajak guna meningkatkan pendapatan dari tiga sumber. Sumber pertama adalah pendapatan dari kegiatan ekonomi di dalam negeri yang tidak dilaporkan, seperti kegiatan underground economy. Pengampunan pajak tidak hanya dirancang untuk meningkatkan penerimaan pajak pada saat ini, akan tetapi juga untuk mengurangi secara permanen jumlah aktivitas ekonomi underground economy, sehingga meningkatkan penerimaan pajak di masa depan.
Sumber kedua pendapatan potensial adalah pelarian modal (flight capital). Indonesia mngklaim telah berhasil sebagai negara paling sukses di dunia dalam menjalankan program pengampunan pajak yang diprakasai pemerintah dengan tujuan memulangkan kembali dana para wajib pajak yang disimpan di luar negeri. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari angka-angka yang dideclared, dan antusiasme wajib pajak dalam mengikuti program pengampunan pajak. Bahkan masyarakat internasional juga menyampaikan penghargaan mereka.
Program pengampunan pajak di Indonesia menjadi salah satu program repatriasi yang paling sukses didunia. Dalam tiga bulan pertama, jumlah harta yang dilaporkan mencapai Rp 3.195 triliun yang terdiri harta didalam negeri sebesar Rp 2. 177 triliun dan dana di luar negeri senilai Rp 1.019 triliun. Sedangkan uang yang masuk ke kas negara mencapai Rp 97,2 triliun yang terdiri dari uang tebusan Rp 93,7 triliun, pembayaran tunggakan Rp 3,06 triliun dan pembayaran bukti permulaan Rp 354 miliar.
Total aset yang dideklarasikan dalam program pengampunan pajak di Indonesia jauh di atas Irlandia yang mencapai setara dengan Rp 26 triliun (1993), Afrika Selatan mencapai setara Rp 15 triliun (2003), Italia mencapai setara Rp 1.179 triliun (2009), Spanyol mencapai setara Rp 202 triliun (2012), Australia mencapai setara Rp 66 triliun (2014), dan Chile mencapai setara Rp 263 triliun (2015).
Tingkat keberhasilan dalam program pengampunan pajak tidak semata-mata hanya diukur dari nilai absolute deklarasi aset, akan lebih adil apabila di ukur dengan rasio terhadap produk domestic bruto (PDB). Berdasarkan standar rasio ini, deklarasi aset di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 1% dari PDB. Sementara Chile yang menerapkan program pengampunan pajak pada tahun 2015 hanya berhasil mengumpulkan dana retribusi setara dengan 0,62% dari PDB. Adapun India yang menerapkan program pengampunan pajak pada tahun 1997, hanya berhasil mengumpulkan 0,17% dari PDB.
Negara lain seperti Italia, Afrika Selatan, Australia, Spanyol, dan Belgia, secara berturut-turut hanya berhasil mengumpulkan 0,2%, 0, 17%, 0,06%, 0,12%, dan 0,15% dari PDB. Dari perspektif ini, Irlandia lebih berhasil daripada Indonesia, karena mampu mengumpulkan 2,55%.
Korupsi
Kita boleh berbangga dengan keberhasilan program pengampunan pajak. Namun di balik kesuksesan ini sebenarnya justru menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar pajak masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari tax ratio (rasio pajak terhadap PDB) di Indonesia masih jauh dibawah negara-negara yang sama-sama menjalankan program pengampunan pajak. Mengacu data Bank Dunia, Irlandia, misalnya ketika meluncurkan program pengampunan pajak pada tahun 1993, tax ratio telah mencapai 25,33%. Sementara Afrika Selatan (2003) telah mencapai 23,84%, Italia (2009) telah mencapai 22,51%, Australia (2014) telah mencapai 25,8% dan Chile (2015) menapai 21%. Hanya Spanyol pada tax ratio-nya hampir setara dengan Indonesia, yakni 1,4% mencapai 11% (2015).
Rasio pajak yang rendah di satu sisi menunjukkan bbahwa kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum optimal. Bahkan beberapa pengamat perpajakan menilai, DJPdalam meningkatkan pendapatan pajak cenderung melakukan intensifikasi dengan “berburu di kebun binatang”, daripada melakukan ekstensi untuk menambah wajib pajak baru. Di sisi lain rendahnya rasio pajak tersebut juga bisa mengandung makna tingginya tingkat penggelapan pajak atau rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.
Melalui program pengampunan pajak inilah sebenarnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dimulai. Rasio pajak yang rendah di Indonesia menunjukkan bahwaa ruang untuk meningkatkan penerimaan pajak masih sangat terbuka lebar. Namun, dibutuhkan kerja keras DJP dengan mengubah mindset dari”berburu di kebun bbinatang”, diubah lebih kearah ekstensi. Selam ini, upaya DJP dalam memperluas wajib pajak dengan meningkatkan jumlah wajib pajak terdaftar melalui nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk warga masyarakat yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dirasakan belum efektif dalam mendongkrak penerimaan pajak. Hal ini kemungkinan disebabkan mereka yang dijaring melalui NPWP baru ini adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara masyarakat kelas menengah ats yang notabene berpotensi membayar pajak cukup besar, masih banyak yang belumm terjaring. Mereka sepertinya terus menghindar membayar pajak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak adalah korupsi. Studi Imam dan Jacobs (2007) menunjukkan bahwa tax collection salah satunya dipengaruhi oleh korupsi. Diantara negara-negara yang melakukan program pengampunan pajak, tingkat korupsi d Indonesia adalah yang tertinggi. Menurut Transparency International, pada tahun 2015 Indonesia menempati urutan ke-88 dari 114 negara yang disurvei. Sementara itu Australia berada pada peringkat ke-13, Irlandia ke-18, Cile ke-23 Spanyol ke-36 dan Itaia dan Afrika Selatan sama pada peringkkat ke-61.
Akhirnya, program pengampunan pajak dala jangka menengah dan panjang akan efektif dala meningkatkan basis pajak, apabila kesadaran masyarakat dalam membayar pajak juga meningkat. Untuk keberhasilan di masa depan kenaikan tax ratio juga akan dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah untuk mengurangi tingkat korupsi.
Sumber : http://www.pemeriksaanpajak.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:pemeriksaan pajak
Tinggalkan Balasan