Masih Berharap Tuah Pengampunan Pajak

32032-pengertian2btax2bamnesty

Orang bilang, kegagalan adalah sukses yang tertunda. Tapi adagium ini tidak berlaku untuk program amnesti pajak pemerintah kita. Meski kemungkinan akan gagal, nyatanya amnesti pajak sudah mendapat label sebagai program pengampunan pajak paling sukses, bukan hanya sepanjang sejarah indonesia, tetapi sepanjang sejarah dunia.

Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, sampai Selasa (8/11) lalu, uang tebusan dari pengampunan pajak sudah mencapai Rp 94,3 triliun. Jika ditambah dengan pembayaran tunggakan pajak dan pembayaran bukti permulaan sebagai syarat untuk mengikuti pengampunan pajak, total penerimaan mencapai Rp 98,1 triliun.

Menurut kajian Heriyanto Irawan, Research Analyst dari PT Deutsche Verdana Indonesia, kalau realisasi amnesti pajak hanya Rp 50 triliun saja, atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), penngampunan pajak indonesia bisa dibilang salah satu yang paling berhasil di dunia. Dengan realisasi mencapai Rp 98 triliun atau 0,8% dari PDB, amnesti pajak pun mendapat label proyek paling sukses sedunia.

Cuma, kalau dibandingkan dengan target yang dicanangkan pemerintah sebesar Rp 165 triliun, program amnesti pajak bisa dibilang gagal. Maklum, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Oktober 2016 baru Rp 870,95 triliun.

Jumlah itu setara dengan 64,27% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan (APBN-P) 2016 yang sebesar Rp 1.318,9 triliun. Makanya, dengan amnesti pajak sekalipun, realisasi penerimaan pajak masih akan meleset atau mengalami shortfall sekitar Rp 215 triliun sampai akhir tahun. Artinya, realisasi pajak 2016 kemungkinan hanya Rp 1.103,9 triliun, dari target semula yang sebesar Rp 1.318,9 triliun.

Pertanyaannya, tentu saja, setelah menopang penerimaan negara tahun ini, mampukah amnesti pajak ikut mendongkrak penerimaan pajak di tahun depan meski programnya sendiri selesai pada Maret 2017? Kalau melihat angka penerimaan di rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2017, pemerintah tampaknya percaya masih ada efek dari amnesti pajak.

Presiden Joko Widodo, saat menyampaikan RAPBN dan Nota Keuangan 2017, mengakui, program pengampunan pajak masih menjadi penyokong dalam mematok penerimaan pajak sebesar Rp 1.495,9 triliun di 2017. Jumlah ini lebih besar dibandingkan target APBN-P 2016 yang Rp 1.355 triliun.

Sejatinya, program pengampunan pajak memang tidak hanya diniatkan untuk menggerek penerimaan pajak tahun ini atau tahun depan selama periode pengampunan berlaku, tetapi juga menjamin penambahan penerimaan pajak di tahun-tahun yang akan datang.

Maklum, rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang baru 10% dari PDB sesungguhnya di bawah rasio pajak negara-negara Asean yang mencapai 13%-15%. Makanya, peningkatan basis pajak menjadi tujuan yang diharapkan dari amnesti pajak.

Tempat berburu

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, amnesti pajak menopang penerimaan tahun pajak selanjutnya dengan data terbaru yang dimiliki mengenai aktivitas ekonomi maupun nilai aset yang selama ini belum dideklarasikan. Dengan data tersebut, harapannya pemerintah bisa meraih penerimaan pajak yang lebih besar tahun depan.

Tetapi Sri menjanjikan, pemerintah tidak akan berburu di kebun binatang karena akan memberikan sinyal yang tidak produktif ke ekonomi.

Karena itu, Ditjen Pajak akan mengembangkan sistem informasi, sistim database, dan kemampuan analisa untuk merealisasikan potensi penerimaan dari data yang ada. “Setidaknya kalkulasi penerimaan pajak basisnya lebih solid dan kredibel, lebih memiliki data yang memang menunjang dengan baik proyeksi penerimaan,” ujarnya.

Meskipun demikian, pemerintah tak hanya akan mengandalkan tax amnesty semata. Sesuai strategi tahapan optimalisasi pajak yang dicanangkan Ditjen Pajak, 2015 adalah tahun pembinaan pajak. Sedangkan tahun ini adalah tahun pengampunan pajak. Sementara tahun depan akan menjadi periode penegakan hukum.

Makanya, pemerintah akan menggelar berbagai kebijakan, mulai dari kemudahan pelaporan, pembayaran dan kemudahan akses informasi perpajakan yang meliputi antara lain implementasi kewajiban penyampaian SPT melalui e-filling, penyediaan kios komputer untuk e-filling di seluruh KPP di wilayah Jakarta dan kota besar, pembayaran pajak secara online (e-payment) yang multichannel seperti internet banking, mobile banking, ATM, serta electronic data capture (EDC).

Selain itu, ada upaya peningkatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan antara lain lewat pengawasan yang lebih optimal terhadap pembayaran masa, penggalian potensi pajak berbasis sektoral nasional dan regional, dan penguatan basis data perpajakan dan peningkatan kepatuhan melalui optimalisasi pemanfaatan pihak ketiga.

Ada juga implementasi aplikasi faktur pajak elektronik versi web based, implementasi cash receipt system (CRS), serta implementasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) terkait pelayanan publik. KSWP terbukti dapat menjaring mereka yang belum terdaftar sebagai wajib pajak atau wajib pajak yang telah terdaftar namun tidak pernah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Tahunannya.

Yang terakhir adalah penyempurnaan peraturan di bidang perpajakan yang mendukung intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan dan peningkatan kapasitas Ditjen Pajak. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fikal (BKF). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara, salah satu poin revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) nantinya adalah reformasi struktural lewat pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang lebih independen dan otonom.

Pemerintah sedang dalam proses merevisi tiga regulasi utama perpajakan yakni UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dalam revisi UU PPh, pemerintah juga berencana memangkas tarif PPh badan. Cuma, ini tergantung pada analisa terhadap basis data yang berasal dari program amnesti pajak. Basis data baru itu diharapkan bisa menjadi dasar informasi bagi perumusan kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah tidak menutup kemungkinan menaikkan tarif pajak yang lainnya.

“Ini akan menjadi bahan kajian apakah pemerintah memiliki basis yang cukup besar sehingga tingkat rate misalnya bisa dinaikkan,” kata Sri. Ini penting agar pemerintah bisa menghasilkan kebijakan yang mampu menyeimbangkan kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan pajak dengan membangun iklim usaha yang sehat.

Efek bisnis

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, ada enam poin restrukturisasi perpajakan yang harus dilakukan untuk menggenjot penerimaan pajak dalam negeri. Pertama, kesiapan administrasi manajemen data dan informasi serta sistem teknologi informasi untuk memanfaatkan data hasil amnesti pajak.

Kedua, koordinasi penegakan hukum perpajakan dengan institusi terkait. Ketiga, revisi UU perpajakan. Keempat, akses data perbankan dan pihak ketiga lainnya. Kelima, implementasi single identification number (SIN) untuk menjamin kepatuhan. Dan terakhir, transformasi kelembagaan pajak.

Yustinus menilai, perluasan data basis perpajakan akan terbantu karena WP yang dijaring dalam program pengampunan pajak kebanyakan WP orang pribadi besar. Ini akan bisa mengerek penerimaan pajak di masa datang, karena terlihat dari deklarasi harta yang sekitar Rp. 3.900 triliun dari hanya sekitar 120.000an WP.

Sementara harta yang dilaporkan dalam program sunset policy pada 2008 hanya sekitar Rp 200 triliun dari jutaan WP baru. Bukti lain adalah pembayaran uang tebusan yang besar. Sementara sunset policy hanya meraup sekitar Rp 7,5 triliun.

Sebenarnya, pemerintah bisa diuntungkan dengan fitur pertukaran informasi keuangan otomatis atau Automatic Exchange of Financial Account Information. Indonesia termasuk salah satu dari 96 negara yang ikut dalam perjanjian kerjasama multilateral pertukaran informasi antar dinas perpajakan tiap negara tersebut.

Informasi yang ditukar adalah data keuangan dan dokumentasi penetapan harga transfer (transfer pricing) perusahaan multinasional di tiap negara. Cuma, fitur ini baru bisa diaktifkan pada september 2018.

Hambatan lain tentu saja pertumbuhan ekonomi tahun depan yang masih loyo. Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih menilai, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan penerimaan pajak. Sebab, penerimaan pajak sejatinya perpindahan kekayaan dari sektor privat atau bisnis ke negara. Selama dunia usaha masih tertekan, tentu sulit mengerek penerimaan pajak.

Pemerintah, dalam Nota Keuangan 2017, mengakui lemahnya pertumbuhan ekonomi dunia serta rendahnya harga komoditas utama seperti minyak dan gas, batubara, serta kelapa sawit akan menekan penerimaan pajak. Makanya, pajak dari tiga sektor itu terus merosot.

Penulis: Amal Ihsan Hadian, Hasyim Ashari

Sumber: Harian Kontan

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:Pengampunan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: