JAKARTA. “Email Ditjen Pajak ke wajib pajak supaya ikut tax amnesty, datanya ngaco, masa untuk kendaraan yang sama bisa dicatat 3 kali, lagipula itu sudah dilaporkan di SPT. Malu-maluin aja, nggak profesional. Pantas saja target pajak nggak tercapai, amatiran sih”.
Pesan pendek (SMS) dari +62811104xxxx itu adalah satu dari sejumlah pesan sejenis terkait pelaksanaan amnesti pajak yang masuk ke Redaksi Harian KONTAN pada akhir pekan lalu. Tidak hanya SMS, kritik juga datang dari wajib pajak (WP) secara langsung. Selain mempertanyakan mengapa Ditjen Pajak menyasar WP dengan harta mini, mereka juga bingung yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti e-mail itu.
Kepada KONTAN, salah satu WP mengaku heran ketika dikirimi e-mail oleh otoritas pajak pada Rabu (21/12). Dalam e-mail yang dikirimkan melalui alamat amnesty@pajak. go.id, WP yang tidak mau disebut namanya itu diminta melaporkan salah satu hartanya, berupa sebuah rumah. “Saya memang belum memasukan rumah tersebut ke dalam SPT tahun 2015,” ujarnya.
Dia mengaku sengaja tidak memasukkan rumahnya itu karena memang belum dimilikinya secara penuh, karena masih dalam proses kredit. Karena itu dia mengaku bingung, apakah harus ikut amnesti pajak atau tidak karena hampir seluruh penghasilannya sudah dikenakan pajak.
Terlebih nilai hartanya tidak seberapa jika dibandingkan WP besar, yang selama ini tidak bayar pajak dengan benar. Ia menyayangkan, otoritas pajak malah gencar menghimbau WP dengan kemampuan finansial terbatas seperti dirinya. Tidak mungkin juga ikut amnesti pajak, karena tidak memiliki kemampuan membayar uang tebusan.
SMS itu menjadi kritik atas langkah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang pada 21 Desember 2016 lalu mengirimkan surat elektronik kepada 204.125 WP untuk ikut amnesti pajak. Mereka dikirimi “surat cinta” karena disinyalir memiliki harta yang belum dilaporkan ke dalam SPT.
Jaga kredibilitas
Atas kritik ini, Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama bilang, jika data yang tertera di surat elektronik (surel) tidak benar atau tidak sesuai keadaan sebenarnya, atau sudah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan 2015, maka WP dapat melakukan klarifikasi ke Kantor Pelayanan pajak (KPP). “Surel itu bahkan dapat diabaikan kalau memang semua harta yang dimiliki sudah dilaporkan di SPT,” katanya ke KONTAN, Selasa (27/12).
Menurutnya, e-mail itu untuk mengingatkan WP, bahwa data yang dimiliki Ditjen Pajak berasal dari berbagai sumber. Dengan adanya surat itu maka disinyalir WP memiliki harta yang belum dilaporkan ke SPT dan hingga kini belum ikut amnesti pajak. “Masih ada kesempatan memanfaatkan amnesti pajak,” ujarnya.
Data Ditjen Pajak menunjukkan, ada sekitar 2 juta item harta yang dimiliki lebih dari 200.000 WP tersebut. Namun dari jumlah itu baru sekitar 212.270 item harta saja yang sudah dilaporkan melalui program amnesti pajak. Pencarian data dari pihak ketiga berdasarkan Pasal 35 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
UU KUP memang menyebutkan jika Ditjen Pajak berhak meminta informasi dari pihak ketiga untuk mencocokkan data. “Data ini kami akumulasi dari beberapa tahun ke belakang. Apabila data yang tertera di surel benar, WP dapat ikut amnesti pajak, atau melakukan Pembetulan SPT Tahunan,” katanya.
Walau masih banyak kritik, Hestu mengklaim sejak e-mail itu disebarkan, banyak pihak yang menyampaikan ingin ikut amnesti pajak. Agar data lebih akurat, Ditjen Pajak juga akan melakukan beberapa upaya perbaikan. Salah satunta adalah melakukan cleansing data lebih lanjut dengan melibatkan Center for Tax Analysis (CTA).
Ditjen Pajak masih akan mengolah data yang ada dengan memeriksa kembali harta yang belum dilaporkan oleh WP walau sudah mengikuti amnesti pajak. Sebab ada ada kekhawatiran harta yang dilaporkan dalam amnesti pajak, belum lengkapnya. “204.000 WP itu masih sedikit, data masih akan berlanjut, akan kami olah lagi supaya lebih akurat,” katanya.
Pengamat pajak dari Center Indonesia Taxation for Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, atas surel yang dikirimkan Ditjen Pajak, WP harus tetap mengecek datanya sendiri. Sebab, ada dua kemungkinan, pertama data Ditjen Pajak tidak akurat. Kedua, data akurat, tetapi hartanya bukan milik WP. Contohnya pinjam nama untuk membeli mobil. “Jika tidak tepat, WP harus memberikan respon agar tidak disangka menghindar dan data yang salah itu, benar,” katanya.
Selain kooperatif, WP sebaiknya juga memiliki arsip yang baik sehingga respon yang diberikan proporsional dan tepat. Ditjen Pajak sebisa mungkin juga harus mengurangi kekel i ruan data untuk menjaga kredibilitas.
Penulis : Ghina Ghaliya Q, Asep Munazat, Adinda Ade M
Sumber : KONTAN
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan