Saat ini jumlah diaspora Indonesia, menurut Jaringan Diaspora Indonesia, diperkirakan mencapai sekitar 7 juta – 8 juta orang. Jumlah ini terbesar ketiga di dunia setelah China (sebanyak 70 juta orang) dan India (sebanyak 60 juta orang). Diaspora Indonesia sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah orang Indonesia yang karena berbagai alasan dan kondisi telah melepas status kewarganegaraan Indonesia dan secara penuh menjadi warga negara asing. Kelompok kedua merupakan warga Indonesia yang berkarier di luar negeri namun masih memegang status kewarganegaraan. Kelompok ini diperkirakan berjumlah 4,6 juta orang yang tersebar di 35 negara, terutama di Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Arab Saudi, Australia, Belanda, Jepang, Qatar dan Suriname.
Pemberdayaan diaspora untuk berkontribusi bagi negara baru dimulai dengan proses konsolidasi sejak 2012. Ini terhitung, terlambat, karena China, India, bahkan Vietnam telah mengembangkan pemanfaatan potensi diaspora sejak tahun 1995. Menurut Dino Patti Djalal, salah seorang penggagas Jaringan Diaspora Indonesia, kontribusi diaspora sangat nyata bagi Indonesia. Misalnya remitansi atau pengiriman uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Indonesia mencapai US$ 8,4 miliar atau Rp 110 triliun per tahun. Belum lagi dalam bentuk lainnnya seperti investasi, perdagangan, beasiswa, filantropi dan teknologi.
Hambatan
Permasalahan utama adalah keinginan untuk mengadopsi ketentuan dwikewarganegaraan agar diaspora tetap bisa mempertahankan keindonesiaannya. Mengingat UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan masih belum mengakomodasi hal itu maka diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kontribusi diaspora. Pemerintah dapat memberikan berbagai bentuk kemudahan (atau fasilitas) agar diaspora dapat berpartisipasi langsung untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Pertama, adalah mereka tidak perlu lagi menguru izin tinggal dan izin kerja. Kedua, kemudahan pembukaan rekening bank nasional, yang berarti perlu dilakukan revisi Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PB1/2012 khususnya tentang persyaratan bagi calon nasabah dalam rangka pembukaan rekening.
Ketiga, kemudahan pemilikan properti dengan catatan properti digunakan untuk keperluan sendiri dan tidak diperjualbelikan kembali yang bisa menimbulkan penghasilan di Indonesia. Untuk itu diperlukan revisi Kepala BPN Nomor 1 tahun 2010 tentang hak milik atas properti yang dimiliki serta Peraturan Ditjen Pajak Nomor 35 Tahun 2008 berupa persyaratan NPWP pada saat terjadi transaksi pembelian properti.
Keempat, adalah kemudahan pendirian badan hukum, terutama berkaitan dengan revisi Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2016 jo No. 6 Tahun 2016 tentang identitas calon pemegang saham pada saat pendirian badan hukum di Indonesia. Selain itu, terdapat persyaratan KTP dan NPWP bagi diaspora yang akan bekerja sebagai pengurus perusahaan.
Salah satu indikator keinginan para diaspora untuk berpartisipasi langsung dalam pembangunan Indonesia adalah pelaksanaan tax amnesty. Untuk memberikan pelayanan agar diaspora bisa berpartisipasi, pemerintah membuka 3 tempat tertentu di luar negeri yaitu di Hong Kong, Singapura dan London. Pemerintah menginginkan terwujudnya repatriasi harta untuk meningkatkan perekonomian, terutama pembangunan infrastruktur di pelosok Indonesia.
Hasil repatriasi akan diinvestasikan di Indonesia, selama tiga tahun sejak dialihkan dalam bentuk obligasi pemerintah maupun swasta atau investasi keuangan lainnya, berupa investasi infrastruktur, sektor riil dan lainnya. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan menyiapkan alur penempatan instrumen investasi, yaitu dalam bentuk trust, saham, obligasi, reksadana, reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT), Kontrak Pengelola Dana (KDP), Dana Investasi Real Estat (DIRE) dan Efek beragun Aset – Kontrak Investasi Kolektif (EBA-KIK).
Sampai dengan saat ini, tercatat jumlah deklarasi harta luar negeri tecatat sebesar Rp 1.015 triliun sedangkan repatriasi dana luar negeri hanya mencapai Rp 141 triliun. Hasil repatriasi masih jauh di bawah terget pemerintah sebesar Rp 1.000 triliun atau hanya mencapai 14% sejauh ini.
Hal ini bukan berarti diaspora enggan mengikuti tax amnesty, tapi kemungkinan masih adanya masalah teknis, misal sedikitnya akses ke perbankan dalam negeri atau industri keuangan non-bank. Sementara itu, tingginya deklarasi harta luar negeri menunjukkan bahwa mereka masih memiliki semangat keindonesiaan. Untuk itu, pemerintah masih memiliki peluang memanfaatkan bakti diaspora dan masih ditunggu langkah kongkret selanjutnya.
Sumber : Kontan, Kamis, 16 Feb 2017
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan Pajak
Tinggalkan Balasan