
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa program pengampunan pajak atau tax amnesty menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi. Karena itu, ia menyarankan adanya solusi untuk menaikkan penerimaan negara selain tax amnesty jilid II.
Bhima pun menjabarkan beberapa imbas negatif dari tax amnesty. Pertama, kepercayaan pembayar pajak bisa turun karena tax amnesty harusnya diberikan sekali sesuai janji pemerintah 2016, dan setelah periode tax amnesty selesai maka selanjutnya penegakan aturan perpajakan.
“Dengan adanya tax amnesty jilid ke II, psikologi pembayar pajak pastinya akan menunggu tax amnesty jilid berikutnya. Ya buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara,” ujar Bhima kepada Tempo, Kamis, 20 Mei 2021.
Selain itu, Bhima berujar tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang, terbukti periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen. Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB, menurut dia, bukannya naik malah melorot terus. ‘Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” kata dia.
Bhima pun mengingatkan bahwa pemberian tax amnesty rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Atas nama pengampunan pajak, perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia. Terlebih, saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi Covid-19.
Menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Pasalnya, sudah lengkap data tax amnesty jilid I, kemudian ada Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers.
“Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal,” ujar peneliti Indef tersebut.
Terlebih lagi, Bhima menilai tax amnesty menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Ia pun memaparkan fakta bahwa selama pandemi Covid 19 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022, sampai Diskon PPnBM untuk mobil.
Pemerintah berencana menaikkan pajak PPN yang berimbas pada masyarakat. “Jadi kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan paska Covid-19,” tutur Bhima.
Ia mengingatkan bahwa rasio gini mulai menanjak ke 0,385 per 2020 dengan kelompok 20 persen teratas atau orang kaya porsi pengeluarannya justru naik ke 46,2 persen dari posisi 45,3 persen dalam periode setahun lalu.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengirimkan surat kepada DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU yang telah masuk program legislasi nasional prioritas 2021 ini membahas beberapa hal terkait pungutan pajak di Indonesia.
Selain kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan di dalam RUU KUP juga mengatur Pajak Penghasilan (PPh), pengurangan PPh badan, PPnBM, carbon tax, dan juga tax amnesty jilid II.
“Di dalamnya juga ada terkait dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Jadi ada beberapa hal yang akan dibahas,” katanya saat bincang-bincang dengan wartawan secara virtual, Rabu, 19 Mei 2021.
Sebelumnya, kebijakan tax amnesty tertuang dalam UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Implementasi kebijakan ini adalah rekonsiliasi antara wajib pajak dan pemerintah. Dimulai pada Juli 2016, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp 4.884,2 triliun yang Rp 1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri.
Sumber: tempo
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan