Tax Amnesty Jilid II. Suatu Kebutuhan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyurati DPR RI untuk membahas kebutuhan tax amnesty (pengampunan pajak) jilid II melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ragam pendapat pun muncul dalam dua sisi, setuju dan tidak setuju.

Kebutuhan tax amnesty sudah diterapkan lima tahun lalu melalui UU No 11 Tahun 2016 yang berlaku sejak 1 Juli 2016. Keberlakuannya dijalankan dalam tiga jenis tariff.

Pertama, tarif 2% untuk periode Juli-September 2016. Kedua, tarif 3% untuk periode Oktober-Desember 2016. Ketiga, tarif 5% untuk periode Januari-Maret 2017. Keberlakuan tax amnesty dinilai sebagian pihak kurang optimal karena sedikit wajib pajak (WP) memanfaatkannya dan hanya dicapai penerimaan negera sebesar Rp 135 triliun.

Ketika negara terus menerus membutuhkan dana untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan, tax amnesty jilid kedua menjadi tema menarik untuk didiskusikan. Sedikitnya dua pertanyaan dapat dikemukakan.

Pertama, apakah tax amnesty cukup diberlakukan sekali saja? Kedua, apakah tax amnesty jilid kedua memberi keadilan dalam pungutan pajak?

Pembatasan Tax Amnesty

Kebutuhan tax amnesty jilid kedua kerap dinilai kurang tepat dengan argumentasi efek psikologi dan ketidakbaikan bagi sistem perpajakan. Termasuk alasan ketidakpatuhan serta menghindari moral hazard dalam pemenuhan kewajiban pajak.

Alasan seperti itu sangat wajar jika amnesty dimaknai memberi ampunan semata. Namun, dalam konteks hukum, tidak demikian. Hukum (hukum pajak) sebagai bagian dari tatanan hidup bersama terus mencari solusi bagikepentingan bersama yang diterapkan secara adil. Hukum dibentuk mesti memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Pada titik ini, penulis setuju dengan teori Von Jhering (1818- 1892) yang berbasis ide manfaat yang diusahakan lewat hokum (baca Undang-undang). Karena hukum merupakan penyatuan ragam kepentingan untuk tujuan yang sama, yakni kemanfaatan (utilitarianisme) yang berkeadilan. Kalau begitu, usainya keberlakuan tax amnesty dalam Undang-Undang 11/2016 tidak bisa dimaknai tidak diperlukan lagi tax amnesty jilid kedua, jilid ketiga, dan seterusnya.

Bahkan ukuran moral hazard yang ‘dicurigai’ akan dimanfaatkan sebagian pihak, belum bisa dibenarkan sepanjang tidak ada fakta hokum yang menjadi parameternya, dan di sisi lain kehidupan dunia usaha sebagai motor pembangunan ekonomi nasional harus dijamin keberlanjutannya (going concern).

Analisis tidak perlunya tax amnesty jilid kedua dari sisi hukum seakan ‘menutup’ ruang pemahaman hukum sehingga berlawanan dengan konsep yang dikatakan Ehrlich bahwa hokum itu hidup, selalu mengikuti perkembangan masyarakat (living law).

Itu sebabnya, keberlakuan amnesty jilid kedua menjadi alasan kuat kenyataan sosial yang secara ekonomis manusia sadar akan kebutuhannya (opinion necessitates), terlebih lagi selama masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini yang tidak dapat dipastikan kapan akan berakhirnya.

Lalu, apakah persoalan kepatuhan dan moral hazard semata ditentukan oleh ada tidaknya tax amnesty? Sangat tidak tepat untuk dijawab ‘Ya’. Apakah juga bisa dinilai jika Wajib Pajak ikut tax amnesty menjadi ukuran patuh atau tidak?

Tidak sesederhana itu untuk dijawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Politik hukum memilih nilai-nilai norma dalam rumusan tax amnesty yang merupakan suatu kebutuhan sesuai dengan nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Jika dikatakan tax amnesty hanya berlaku sekali seumur hidup atau berlaku kurun waktu 20-30 tahun, juga tidak tepat.

Jika ukuran itu yang dinilai, secara filosofis, argumentasi hukumnya sangat lemah. Ukuran menilai hukum (amnesti pajak) tidak bisa dalam ukuran lamanya tahun yang sangat relatif. Hukum pajak yang bersinggungan dengan ragam aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, budaya, dll) mesti dilihat secara global, tidak hanya ukuran waktu.

Keadilan Sosial

Bicara pajak juga bicara keadilan sosial, yang menurut Suseno, keadilan sosial merupakan keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomi, politik dan sosial, budaya dalam masyarakat (Magnis-Suseno, 2018). Kondisi itu hanya bisa dilakukan Negara melalui kebijakan berkeadilan yang punya dampak besar.

Menurut penulis, keberlakuan tax amnsty jilid kedua, sepanjang norma maupun sasarannya dirumuskan dengan baik, akan mewujud pada keadilan sosial untuk kepentingan bersama. Hal itu pernah dilakukan melalui rumusan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan No 9/2017. Pilihan nilai-nilai hukum merupakan keniscayaan yang tidak boleh disikapi secara kaku.

Pilihan nilai serta penerapan nilai dalam rumusan norma tax amnesty adalah juga bagian dari cara berpikir melakukan penegakan hukum. Makna ‘penegakan hukum’ tidak melulu berarti penghukuman. Proses melakukan perbaikan sesuai norma hukum, pun bermakna penegakan hukum. Bahkan upaya pencegahan (preventive) pun merupakan bagian dari makna penegakan hukum.

Contoh, bagaimana suatu perusahaan melakukan penyempurnaan sistem pengendalian internalnya menjadi lebih efektif lagi agar dapat mengeleminasi risiko fraud dalam perusahaan, termasuk memperkuat struktur komisaris independen yang kompeten yang dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham.

Daya pengancam sebagai dasar pemerintah menegakkan hukum, sangat tidak tepat. Karena kita akan kembali pada cara berpikir Hobbes yang menggambarkan Negara sebagai leviathan (raksasa) yang ditakuti rakyatnya.

Penegakan hukum bagi wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty tidak boleh menggambarkan Negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata karena kemampuannya untuk mengancam. Tesis itu menjadi pemikiran ulang menilai makna penegakan dalam hukum pajak. Perlakuan hukum tax amnesty tidaklah merepresentasikan gambaran sebagai leviathan.

Itulah esensi dari kebutuhan akan keberlakuan tax amnesty jilid kedua. Artinya, saat berpikir efek psikologis dengan ungkapan ‘lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty’ adalah tidak tepat. Negara hukum Indonesia memerlukan langkah berpikir hukum dengan keseimbangan hukum yang benar.

Kebutuhan pajak bagi kemaslahatan tetap menjadi fokus utama menjalankan undang-undang pajak, tanpa menegasikan tindakan tegas bagi yang punya niat jahat (mental elements of crime atau guilty mind atau mens rea) mengelak pajak.

Hal itu sejalan dengan doktrin ultimum remedium dalam konteks pidana pajak dalam penjelasan Pasal 13A UUKUP tetap diberlakukan bagi mereka yang memiliki guilty mind. Itu sebabnya, proses dan mekanisme penegakan hukum mesti dipahami benar oleh para penegak hukum.

Jika tidak, tujuan menghimpun pajak akan gagal, yang tidak kita inginkan bersama. Justru kita harus bersatupadu membangun bangsa dan negara ini. Instrumen pajak merupakan instrumen yang amat strategis untuk mewujudkan cita-cita Indonesia maju ke depan.

Uraian di atas menyimpulkan bahwa kebutuhan tax amnesty jilid kedua menjadi bagian dari politik hukum mencari nilai-nilai dalam hukum yang dibutuhkan. Rumusan kebijakan norma hukum tax amnesty tetap ditujukan pada tujuan kepastian dan kemanfaatan yang berkeadilan.

Untuk itu diperlukan persiapan yang matang, mulai dari perumusan norma pada Undang-undang sampai dengan peraturan turunan dan implementasi di lapangan yang efisien, efektif, serta memberikan kemudahan administratif bagi wajib pajak. Koordinasi dan sinkronisasi merupakan kata kunci pada tataran implementasi di lapangan yang harus mendapatkan perhatian serius nantinya.

Sumber: investor.id

http://www.pengampunanpajak.com



Kategori:Artikel

Tag:, , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: