Berburu Pajak dari Pengkampanye Produk di Media Sosial

08125-tax2bamnesty-1

Jakarta, Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak. Setelah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak, kini pemerintah akan mengejar setoran pajak di media sosial. Salah satunya, pajak dari pengguna akun media sosial yang melakukan aktifitas penyokong (endorser) dan pendengung (buzzer) produk tertentu.

Membayar buzzer dan endorser untuk kepentingan iklan adalah hal yang lumrah dilakukan di era kemajuan teknologi di bidang komunikasi dan informasi, seperti saat ini. Tujuannya, suatu produk bisa jadi bahan pembicaraan atau informasinya terdistribusi secara viral.
Uniknya, di Indonesia para pengiklan tak hanya memanfaatkan jasa dari akun para penyohor. Tetapi juga menyasar “orang biasa” yang punya banyak pengikut di jagad maya atau populer di media sosial. Mereka disebut selebgram (selebriti Instagram), selebtwit (selebriti Twitter) maupun youtuber di YouTube, lantaran aktif menyampaikan gagasan maupun pendapatnya kepada pengikutnya yang berjumlah besar di media sosial.

Biasanya mereka dibayar berdasarkan jumlah postingan yang diminta oleh perusahaan (brand) atau agensi iklan yang menggunakan jasanya. Penghitungan lain juga dari jumlah postingan yang dibagikan kembali oleh pengikutnya, sehingga bisa diukur seberapa jauh pesan tersebut bisa menjangkau. Artinya, semakin besar jumlah retweet (di Twitter) atau regram (di Instagram), makin besar pula nilai jangkauannya (reach).

Di Indonesia, penghasilan yang didapat endorser dalam sekali posting produk pengiklan sangat beragam, rata-rata berkisar Rp50 ribu hingga Rp3 juta, tergantung negosiasinya.

Wajib lapor

Terkait pajak penghasilan, pemerintah sendiri pada tahun ini merubah tolok ukur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk wajib pajak (WP) dengan status TK/0 dari Rp36 juta menjadi Rp54 juta pertahun, atau naik 50 persen. Artinya, bila seorang selebgram memperoleh penghasilan kurang dari Rp54 juta dalam setahun, tidak dikenakan pajak penghasilan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteasi, menyatakan bahwa seorang selebgram harus dikenakan pajak bila pendapatannya dari mengkampanyekan suatu produk di atas Pendapatan Tak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan.

“Itu (selebgram) termasuk WP biasa, hanya tata cara pembayarannya atau iklannya (yang berbeda). Jadi prinsipnya kalau orang punya penghasilan di atas PTKP kena pajak,” ujar Ken, di Kantor Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta Pusat, Jumat (14/10/2016).

Sementara itu, Humas Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga, mengatakan yang jadi masalah adalah para selebgram, selebtwit, atau youtuber tidak pernah melaporkan penghasilan dari kegiatan endorse-nya.

“Atas penghasilan yang diterima ini seharusnya dilaporkan dalam SPT dan dibayarkan pajaknya. Namun mereka tidak melaporkannya,” ujar Hestu.

Pemantauan lebih intensif akan dilakukan Ditjen Pajak demi menggenjot penerimaan pajak dari buzzer dan endorser ini. Menurut Yoga, bisa dilakukan pencocokan antara laporan SPT-nya dengan kegiatan di media sosialnya. “Itu kebanyakan komersial, tidak banyak yang tidak dibayar. Kami deteksi siapa selebgramnya, juga produknya. Lalu ada tindak lanjutnya,” kata Yoga.

Sementara itu, Ananta Giovanni, seorang pemilik akun Instagram yang turut menikmati penghasilan dari kegiatan penyokongan produk ini, mengaku siap menulis pendapatan hasil bisnis di dunia maya dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT).

“Awalnya kaget. Tapi pas dibaca, biasa saja. Karena yang dikenakan itu kan yang penghasilannya benar-benar besar,” katanya beberapa waktu lalu.

Pria yang akrab disapa Vini ini mengaku, dalam menyokong produk, bayaran yang ia dapat dikisaran Rp1,5 juta – Rp1,7 juta untuk sekali posting produk. “Tergantung negosiasi. Ada juga yang bayarannya diparuh dengan produk. Biasanya sepatu atau baju branded, kalau saya tertarik dengan produknya,” katanya.

Kurang tepat

Shafiq Pontoh, Chief Strategic Officer dari firma konsultasi media sosial Provetic, merasa perlu pelurusan opini soal buzzer atau endorser tidak bayar pajak. Pasalnya, saat bertransaksi dengan perusahaan (brand) atau agensi, tentu sudah dipotong untuk pajak.

“Setiap di-hire itu pasti diminta kok NPWP-nya sama perusahaan atau agensi,” ucap Shafiq, Selasa (18/10/2016). Artinya, bukan berarti endorser ini tidak menyumbang pajak sama sekali.

Lagi pula, Shafiq menambahkan, walaupun buzzer melaporkan penghasilan pribadinya dalam SPT terkait keuntungan yang diterima, itu tidak menjadi faktor utama peningkatan penerimaan negara dari dunia maya.

Menurutnya, bila pemerintah memproyeksi memperoleh tambahan penerimaan negara hingga Rp15,6 triliun, itu bisa saja didapat dari perdagangan secara elektronik atau e-commerce, facebook ads, google ads, instagram ads, dan lain-lain.

“Buzzer digital itu tidak banyak. Bisa dibayangkanlah berapa penghasilannya. Kontribusi untuk penerimaan negara, ilustrasinya seperti mengambil sebutir garam dari laut,” kata Shafiq.

Menurut dia, sayang sekali bila pemerintah terlalu mengeluarkan tenaga hanya untuk memantau penghasilan mereka.

Sumber: http://www.pemeriksaanpajak.com

http://www.pengampunanpajak.com

info@pengampunanpajak.com



Kategori:pemeriksaan pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: